Kebhinekaan Dalam Rahman Dan Rahim-Nya Allah

KEBHINEKAAN DALAM RAHMÂN DAN RAHÎM-NYA ALLAH
(Tafsir Surah al-Fâtihah Ayat 3)
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin

Allah Swt berfirman:

الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Maha Pengasih, Maha Penyayang

Dalam bahasa Indonesia, terdapat kosakata “kasih” dan kosakata “sayang.” Keduanya merupakan ekspresi dari rasa cinta dan kelembutan hati. Tapi “kasih” tak selalu berarti di dalamnya ada “sayang,” dan “sayang” tak selalu berarti di dalamnya ada “kasih.” Dalam bahasa Al-Qur’an, kasih dan sayang selalu disebut bersamaan sebagai dua nama Allah rabbul ‘âlamin, tuhan semesta alam, yaitu al-rahmân dan al-rahîm, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Asal katanya, baik al-rahmân maupun al-rahîm adalah rahmat (الرحمة). Tampaknya bahasa Al-Qur’an inilah yang melahirkan term “kasih sayang” dalam bahasa Indoensia. Yakni kasih yang di dalamnya ada sayang, dan sayang yang di dalamnya ada kasih. Mungkin semua orang tak asing dengan term “kasih sayang” tersebut, tapi tak banyak yang menyadari bahwa term tersebut merupakan pengaruh dari ayat Al-Qur’an, yaitu di antaranya surah al-Fâtihah ayat 3 ini.

Kata al-rahmân dan al-rahîm pada ayat ini adalah kata al-rahmân dan al-rahîm yang sama dengan yang terdapat pada ayat 1, yaitu padabismillâh. Jika ayat 1 sampai ayat 3 surah al-Fâtihah ditulis dalam satu baris maka akan terlihat dengan jelas bahwa al-rahmân al-rahîmmengapit ayat al-hamdu lillâhi rabbil ‘âlamîn. Hal serupa akan terasa jika ayat 1 sampai ayat 3 dibaca bersambung dengan satu nafas. Dengan ini, sebagaimana dikatakan Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H.), Allah Swt. sedang menampilkan segala nikmat dan rahmat-Nya di seluruh alam dalam kalimat puji yang sempurna, yaitu al-hamdulillâh. Kasih sayang yang sempurna adalah kasih sayang yang universal untuk semua makhluk. Bertemunya kata rabb al-‘âlamîn pada penggalan terakhir ayat kedua dari al-Fâtihah dengan kata al-rahmân pada penggalan pembuka ayat ketiga menujukan bahwa Allah, segala puji bagi-Nya, mentarbiah, mecipta, mengurus dan merajai alam semesta dengan rahmat-Nya yang universal untuk semua makhluk. Tampaknya kebhinekaan Indoensia disandarkan pada nilai universalitas ini. Bukankah pada pembukaan UUD 1945 dinyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa.” Mirip dengan pembukaan kitab Al-Qur’an.

Tidak ada perang jika yang disebut adalah al-rahmân meski perang tersebut atas nama bela Agama Allah. Muslimin harus tunduk padarahmân-Nya. Dari 114 surah dalam Al-Qur’an terdapat satu surat yang tidak diperbolehkan membaca bismillâhirrahmânirrahîm di pembukaannya, yaitu surah al-Taubah, surah dengan nomor urut sembilan. Membaca bismillâh di situ adalah haram. Larangan tersebut terjadi sejak pertama kali turun. Tak seorang pun, bahkan Rasulullah Saw, yang berani membaca bismillâhirahmânirrahîm di pembukaannya. Para ulama menganalisa mengapa demikian? Akhirnya mereka sepakat menyimpulkan bahwa larangan tersebut mengingat adanya al-rahmândalam bismillâh yang membawa pesan damai sementara pembukaan surah al-Taubah turun berkenaan dengan peperangan. Membacabismillâh berarti menghentikan perang apapun alasannya. Lalu sebaliknya, 113 surah dalam Al-Qur’an, yakni selain al-Taubah,  dimulai denganbismillâh. Bahkan termasuk menurut ulama yang megatakan bismillâh di pembuka surat bukan bagian dari surat. Mereka tetap membacabismillâhirrahmânirrahîm. Karena tujuan dari setiap surat adalah kedamaian universal. Perang hanya memontum taubat saja. Bukankah kandungan Al-Qur’an, seluruhnya, sebagaimana penulis jelaskan pada pembahasan tafsir al-Fâtihah ayat 1, dikumpulkan dalambismillâhirrahmânirrahîm.

Tak banyak yang mampu memahami kebhinekaan di dalam kata al-rahmân secara spontan. Baik muslim maupun non muslim. Ketika perjanjian damai antara Rasulullah Saw dengan orang-orang Makkah ditulis, beliau memerintahkan agar ditulis bismillâhirrhamânirrahîm di pembukaannya. Tapi perwakilan orang-orang Makkah menolaknya. Mereka mengatakan: “Kami tidak mengenal al-Rahmân. Tapi tulislahbismikallâhumma.” Imam al-Thabari (w. 310 H.) mengatakan, orang-orang Makkah bukan tidak mengerti kosakata al-rahmân, hanya saja mereka tidak memahami konsep-nya. Di antaranya adalah konsep persaudaraan universal di dalamnya. Seandainya mereka memahami konsep tersebut maka mereka akan setuju. Karena mereka tidak dipaksa masuk Islam, melainkan diminta tunduk bersama-sama kepada hukum-hukum universal sebagai makhluk. Lalu Rasulullah Saw memenuhi permintaan perwakilan orang-orang Makkah tersebut. Tapi para sahabat malah keberatan. Apalagi ketika perwakilan orang-orang Makkah meminta mengganti penulisan Muhammad Rasûlullah denganMuhammad bin Abdillah.

Dalam perjanjian damai yang dikukuhkan di Hudaibiyah tersebut Rasulullah Saw terus mengalah sampai ke butir-butir perjanjian di dalamnya. Para sahabat memandang isi perjanjian tersebut sangat merugikan pihak Rasulullah Saw dan menguntungkan orang-orang Makkah. Sikap para sahabat ini merupakan salah satu bukti bahwa kebanyakan mereka, akibat didorong oleh rasa cinta yang begitu besar kepada Islam dan Rasulullah Saw, tak mampu melihat universalitas rahmat Allah dalam bismillâhirrahmânirrahîm yang meliputi semua makhluk termasuk orang-orang Makkah. Tapi Rasulullah Saw, kendati berulang kali dikritik dan dilobi oleh para sahabat yang diwakili Umar bin Khaththab agar membatalkan perjanjian damai tersebut, tetap teguh dengan pendiriannya. Hal ini karena beliau memahami betul makna rahmat Allah yang universal dalam sifat al-rahmân yang terdapat dalam bismillâh dan al-Fâtihah ayat 3. Seandainya beliau bersikeras menuliskanbismillâhirrahmânirrahîm di pembukaan naskah perjanjian damai tersebut, maka, dengan tertulisnya tersebut, substansi al-rahmân di dalamnya sudah kosong. Tapi, dengan bersedia tidak dituliskan, menujukan hadirnya substansi bismillâhirrahmânirrahîm di dalamnya.

Surah al-Fath, sebagaimana penulis jelaskan pada pembahasan tentang pengertian surah al-Fâtihah, turun berkenaan dengan Perjanjian Damai Hudaibiyyah di atas. Perjanjian tersebut ditegaskan dalam ayat 1 dari surah al-Fath dengan fath(an) mubîn(â), kemenangan yang nyata. Nama al-Fath diambil dari kata kemenangan tersebut, yaitu derivasi yang sama dengan kata yang menyusun nama al-Fâtihah. Oleh karenanya, dalam surah al-Fath seakan ada dua bismillâh. Yaitu bismillâh yang nampak di pembuka surat dan bismillâh yang tidak nampak di ayat 26. Di situ ada kata kalimah al-taqwâ (كَلِمَةَ التَقْوَى), yakni Kalimat Takwa yang memantapkan hati Rasulullah Saw dan hati orang-orang Mukmin. Kata imam al-Zuhri (w. 124 H.), sebagaimana pernah penulis bahas sebelumnya, Kalimat Takwa adalah bismillâhirrahmânirrahîm. Hal ini sama dengan pengulangan al-rahmân dan al-rahîm dalam surah al-Fâtihah.

Dalam ayat 29 dari surah al-Fath, Allah Swt menyatakan Muhammadur Rasulullâh. Menunjukan bahwa kesediaan beliau ditulis dengan nama Muhammad bin Abdillah dalam pembukaan Perjanjian Damai Hudaibiyah, bukan dengan nama Muhammad Rasulullah, karena memenuhi permintaan orang-orang Makkah, adalah bukti beliau rasul Allah secara substansi. Allah Swt sendiri yang langsung menyebut beliau dengan Muhammad Rasulullah. Tampkanya inilah yang menyebabkan para pendiri bangsa kita dahulu menulis pendahuluan UUD 1945 tanpa didahului dengan bismillâhirrahmânirrahîm. Yaitu agar kebhinekaan difahami dengan benar oleh setiap pemeluk agama hingga dapat hidup damai dalam kebhinekaan tersebut pasca al-fath (merdeka) yang sekaligus merupakan al-fatihah (pembuka segala kemenangan).

Kata al-rahmân dan al-rahîm ketika bertemu dalam satu ayat seperti dalam bismillâh dan ayat 3 surah al-Fâtihah ini maka selalu yang disebut pertama kali adalah al-rahmân, lalu al-rahîm. Hal ini karena seandainya disebutkan terbalik, yakni al-rahîm dulu lalu al-rahmân, maka bangunan universalitas rahmat Allah di alam ini, sebagaimana dipaparkan di atas, akan runtuh. Karena rahmat yang terkandung di dalam al-rahîm berifat khusus dan terbatas. Yaitu nikmat yang diberikan Allah di akhirat. Semua makhluk, khususnya manusia, pasti akan memasuki akhirat, sebagaimana akan penulis bahas pada tafsir ayat 4, tapi tidak semua yang masuk akhirat mendapatkan nikmat. Karena ada juga yang diadzab. Jika konsep al-rahîm di dahulukan, atau dengan kata lain, diduniakan, bukan diakhiratkan, maka tidak akan pernah terwujud kehidupan yang harmonis, karena pasti akan selalu menimbulkan perbedaan di mana masing-masing meyakini benar dan yang lain salah. Jika perbedaan tersebut berujung pada penolakan terhadap rahmat yang universal dalam al-rahmân maka hal itu akan merusak akhirat serusak tatanan dunianya. Oleh karenanya, akhiratkan al-rahîm sebagaimana menduniakan al-rahmân, bukan sebaliknya, agar mendapat rahmat di dunia dan akhirat. Orang yang benar-benar memahami rahmân-nya Allah di dunia otomatis akan memahami rahîm-nya Allah di akhirat.

Rahmat Allah terbesar kepada manusia di alam raya sebagai manifestasi dari rahmân-Nya adalah rahmat universal yang dapat membawa manusia sampai kepada rahîm-Nya di akhirat. Yaitu al-Qur’an dan diutusnya Rasulullah Saw. Dalam hal ini Allah menurunkan surah al-Rahmân yang memperinci nikmat-nikmat-Nya dengan menempatkan pengajaran Al-Qur’an sebagai nikmat pertama dan utama untuk seluruh manusia (QS al-Rahman, 1-3). Dan dalam surah al-’Anbiyâ’ ayat 105 dinyatakan bahwa kerasulan Muhammad Saw adalah rahmatan lil ‘âlamîn, yakni kasih sayang untuk seluruh alam. Yang demikian adalah cara Allah memelihara al-‘âlamîn (alam semesta). Tarbiah dan rahmat Allah akan tercurah limpahkan kepada siapapun yang berinteraksi dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw yang universal.

Al-Razi (w. 606 H.) mengatakan, al-rahmân adalah pemberi nikmat yang tidak dapat tergambarkan datang dari makhluk, sedang al-rahîmadalah pemberi nikmat yang dapat tergambarkan datang dari makhluk. Ibrahim bin Adham (w. 162 H.) disuguhkan hidangan kepadanya. Tiba-tiba seekor burung gagak mengambil sepotong roti darinya lalu pergi. Ibrahim bin Adham (w. 162 H.) merasa aneh lalu mengikuti gagak tersebut kemana dia terbang. Gagak turun di sebuah bukit. Lalu Ibrahim bin Adham melihat gagak tersebut memberi makan kepada seorang laki-laki yang badannya diikat beserta kedua tangannya. Demikian contoh rahmân-nya Allah. Kejadian yang terjadi pada manusia adakalanya disangka nikmat padahal buruk (adzab) dan adakalanya disangka buruk padahal nikmat.

Orang tua yang membiarkan anaknya tidak belajar mungkin terlihat seperti nikmat padahal adzab, sedang orang tua yang berusaha mendidik anaknya dengan mengendalikan dan memberikan pengawasan mungkin terlihat seperti mengekang anak padahal merupakan nikmat. Yang diberikan Allah kepada manusia pun seperti itu. Pandanglah setiap pemberian Allah itu substansinya bukan kulitnya, niscaya akan mengerti nikmatnya syukur dan nikmatnya sabar di balik rahmân dan rahîm-Nya. Ketika Nabi Khadir melubangi perahu, Nabi Musa mengiranya buruk. Demikian pula ketika Nabi Khadhir membunuh anak kecil yang tak berdosa. Sampai Nabi Musa tak tahan lagi melihatnya. Padahal yang dilakukan Nabi Khadhir adalah kebaikan, bukan keburukan. Atas perintah Allah, bukan atas inisiatif sendiri. Karena Nabi Khadhir diberikan pengetahuan substansi dan Nabi Musa melihat kulitnya. Nabi Musa baru faham setelah Nabi Khadhir menjelaskannya. Yang belum memahami substansi tak ada jalan lain baginya untuk hidup nikmat kecuali melebarkan pemahaman terhadap makna al-rahmân dan al-rahîmseperti di atas.

Al-Rahmân adalah nama yang hanya disandang Allah, sedang al-rahîm adakalanya disandang selain Allah. Ketika disebutkan al-rahmân maka sudah masuk di dalamnya al-rahîm, tapi tidak setiap disebutkan al-rahîm sudah masuk di dalamnya al-rahmân. Kalau sekadar melihat makna lahirnya maka al-rahîm tak perlu disebutkan lagi. Namun tidak demikian faktanya. Adakalanya orang besar tidak mengurus yang kecil. Untuk membetulkan tali sepatu yang terlepas tidak perlu meminta bantuan kepada Bos Besar. Tapi Allah tidak demikian. Dia pemberi nikmat besar yang mengurus hal-hal yang besar, tapi juga sekaligus pemberi nikmat kecil yang mengurus hal-hal yang kecil. Allah Swt. berkata kepada Nabi Musa, “…tanyakan semuanya kepada-Ku termasuk tentang garam di makananmu dan pakan ternakmu.”

Allah Swt memberikan satu rahmat kepada siti Maryam (QS Maryam: 21). Satu rahmat tersebut menjadi sebab selamatnya Maryam dari fitnah yang besar dari kaumnya. Itu hanya satu rahmat. Sementara kita, dalam sehari semalam, mensifati Allah dengan al-rahmân dan al-rahîmpaling sedikit sebanyak 34 kali. Karena jumlah keseluruhan rakaat shalat yang lima waktu adalah 17 rakaat. Dalam setiap rakaat kita membaca al-rahmân al-rahîm sebanyak dua kali, yaitu dalam al-Fâtihah ayat 1 dan ayat 3. Tujuh belas kali dua sama dengan tiga puluh empat. Yakni, jika satu rahmat saja sudah dapat menyelamatkan siti Maryam dari segala fitnah dan keburukan dunia maka tidakkah mengulang-ulang menyebut rahmat tersebut 34 kali setiap hari seumur hidup menjadi sebab selamatnya muslimin dari neraka, aib, dan kehancuran.

Ketika gigi seri Rasulullah Saw pecah di Perang Uhud akibat lemparan batu maka beliau berdoa: “Ya Allah, tunjukanlah kaumku, karena mereka kaum yang tidak tahu.” Pada Hari Kiamat, beliau masih memikirkan umat-nya. Beliau berkata: “Ummatku, ummatku.” Yang menjadikan beliau begitu penyayang kepada ummatnya di dunia dan akhirat adalah satu rahmat yang Allah berikan kepada beliau. Betapa dahsyat kebaikan pemilik rahmat yang satu tersebut. Maka bisakah membayangkan seperti apa kebaikan Sang Maaha Rahmân dan Maha Rahîm. Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Siapa yang bisa mengukur luasnya alam semesta? Tidak ada. Maka luasnya rahmat Allah Swt meliputi luas yang tak terukur manusia itu. Ya Rahmân, ya Rahîm.

Wallâhu A‘lam.

(Visited 44 times, 1 visits today)
Bagikan