Pengadilan Keadilan

PENGADILAN KEADILAN
(Tafsir Surah al-Fâtihah Ayat 4)
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin

Allah Swt berfirman:

مَلِكِ يَومِ الدِّينَ

Pemilik hari pembalasan

Teks surat al-Fâtihah ayat 4 adalah mâliki yaumiddîn. Terdiri dari tiga kata. Yaitu mâlik (مَالِكِ), yaum (يَومِ), dan al-dîn (الدّينِ). Kata malik pada ayat ini mempunyai dua bacaan. Kedua-duanya sah dari Rasulullah Saw. Yaitu pertama, menambahkan huruf alif seletah mîm. Jadi mâliki (مالك) seperti dalam surah Âli Imrân ayat 26, artinya pemilik. Kedua, tidak memakai alif setelah mîm. Jadi maliki (مَلِكِ) seperti dalam surah al-Nâs ayat 2, artinya raja. Dalam Mushaf Kufah, yakni mushaf Al-Qur’an yang paling banyak dipergunakan di dunia, juga merupakan satu-satunya mushaf yang dipergunakan di Indonesia saat ini, kata mâliki dibaca panjang sesuai bacaan Kufah riwayat imam Hafsh bin Sulaiman (w. 180 H.) dari imam ‘Âshim bin Abi al-Najûd al-Kufi (w. 127 H.). Tapi tulisannya tetap tanpa alif, yaitu ملك bukan مالك. Yakni, baik maliki maupun mâliki(huruf [â] yang bertopi kerucut dalam Tafsir An-Nahl ini adalah huruf [a] yang dibaca panjang) sama-sama ditulis ملك (tanpa alif setelah mîm). Tidak ditulis مالك (dengan alif setelah mîm) meski dibaca panjang. Tulisan kata maliki yang tak beralif meski dalam riwayat bacaan Kufah yang pajang bukan peristiwa kebetulan, tapi ragam tulisan khas Al-Qur’an yang diajarkan langsung oleh Rasulullah Saw melalui wahyu atau disebut tauqîfi. Hal itu tak lain untuk menghadirkan makna yang kuat.

Para mufassir (penafsir Al-Qur’an) terdahulu, sebagaimana dinyatakan Thahir bin Asyur (w. 1393 H.) dalam al-Tahrîr wa al-Tanwîr, tampak membuat pembaca gagal fokus dalam menafsirkan kata maliki ini. Mereka sibuk mengulas perbandingan mana dari kata maliki dan mâlikiyang maknanya lebih kuat. Lalu pilihan mereka selalu jatuh pada bacaan yang sesuai dengan rumusan madzhab fiqih yang mereka anut. Mufassir yang bermadzhab Syafii, seperti imam Fakhruddin al-Râzi (w. 606 H.), dengan segala kehebatan berfikir rasionalnya, menetapkan bacaan mâliki lebih kuat maknanya dari pada maliki dengan alasan ini dan itu karena rumusan fiqih Syafii mewajibkan membaca panjang pada kata mâliki. Sedangkan mufassir yang tidak bermadzhab Syafii, misalnya imam al-Thabari (w. 310 H.), menetapkan maliki lebih kuat maknanya dari mâliki dengan alasan ini dan itu. Padahal mereka sama-sama menyatakan dalam kitab mereka bahwa kualitas keduanya sama. Yakni keduanya merupakan bacaan yang sah dari Rasulullah Saw tanpa melebihkan salah satunya. Tidak semata-mata Rasulullah Saw membaca dengan dua bacaan atau lebih kecuali menunjukan satu bacaan belum menghdirkan makna yang kuat. Mâlik mengandung makna yang tak dikandung malik, dan malik mengandung makna yang tidak dikandung mâlik. Oleh karenanya, baik membaca panjang maupun pendek, makna keduanya tetap sama dan saling melengkapi. Yaitu, Allah sebagai mâliki yaumiddin adalah pemilik yang sekaligus raja, dan raja yang sekaligus pemilik. Bacaan mâlik ada unsur malik di dalamnya, dan bacaan malik ada unsur mâlik di dalamnya. Itulah mengapa kedua-nya, secara tulisan, ditulis sama sejak pertama kali turun.

Pada Hari Kiamat banyak raja yang dibangkitkan, tapi tak memiliki. Raja yang pemilik hanya Allah. Bahkan di dunia. Raja yang tak habis kerajaannya sekaligus pemilik penuh atas yang dirajainya hanya Allah. Raja punya kuasa, tapi tidak berhak mempergunakan barang milik rakyatnya. Tapi Allah adalah raja yang memiliki segala yang dirajainya. Yang dirajai Allah bukan rakyat yang merdeka, melainkan semua adalah hamba-Nya. Tidak ada yang mampu melepaskan diri dari hukum-hukum-Nya, berbeda dengan raja yang bukan pemilik. Adakalanya rakyat pindah kewarganegaraan. Bahkan raja yang bukan pemilik bisa diganti dan dilengserkan. Rakyat wajib taat kepada raja tapi tak wajib penjadi pelayan raja. Namun rakyat Allah Swt adalah hamba. Wajib taat dan wajib menjadi pelayan-Nya. Seorang budak tidak bisa bekerja kecuali atas seidzin dan atau untuk pemiliknya.

Seorang pemilik yang bukan raja punya kekuasaan mengendalikan yang dimilikinya, tapi kekuasaan seorang raja lebih besar jangkuan kendalinya. Bukankah jutaan pemilik budak tidak mampu menghadapi kebijakan seorang raja. Ada yang lebih kuat dari kekuasaan raja. Yaitu kekuasaan malaikat. Seandainya semua raja di dunia bersatu untuk menghadapi satu malaikat maka mereka tidak akan mampu. Dan di atas segala kekuasaan itu ada kekuasaan Allah Swt, mâliki yaumiddîn. Maha Merajai, Maha Memiliki. Dia raja yang tak berkurang kekayaan dan asetnya dengan memberi. Jika rakyat tak patuh pada kebijkan raja yang kuat maka akan terjadi kerusakan dan kesulitan. Bagaimana jika raja yang tak dipatuhi tersebut adalah Allah? Maka akan seperti apa jadinya alam ini. Demikian Allah sebagai raja dan pemilik dilihat dari kekuasaan-Nya terhadap yang dirajai dan dimiliki juga dilihat dari kewajiban yang dirajai dan yang dimiliki terhadap-Nya. Allah tampak sangat kuat dan manusia sangat lemah. Tidak ada yang bisa berkutik di bahwa kerajaan dan kepemilikan-Nya. Tapi apa yang penulis bahas di atas tentang makna mâliki dan maliki ini hanya mendalami pengertian keduanya, bukan menjelaskan maksud yang hendak disampaikan ayat ini. Karena, dari segi konteksnya, ayat 4 dari surah al-Fâtihah ini hendak menyempurnakan tarbiyah dan rahmat Allah kepada semua manusia dan alam semesta. Yakni bukan hendak menampilkan kekuasaan dan kepemilikan-Nya yang besar dan mutlaq, tetapi sedang menampilkan keadilan-Nya yang sempurna dalam memberikan hak yang penuh kepada seluruh alam. Bukan membahas kewajiban makhluk terhadap-Nya tapi hak makhluk dari-Nya.

Rahmat Allah sebagai rabbil ‘âlamîn, al-rahmân dan al-rahîm adalah untuk seluruh alam. Tapi di antara alam itu ada makhluk yang tidak biasa. Dia punya (atau diberikan) akal dan nafsu sehingga tak spontan menerima sesuatu yang datang padanya melainkan bisa memilah dan memilih. Dia adalah yang disebut dengan “manusia.” Nafsu melekat padanya bersifat naluri. Tidak perlu dipelajari. Tetapi akal tidak melekat kecuali setelah melalui proses tertentu sehingga tingkat akal manusia bervariasi Berbeda dengan nafsu. Pasti sama. Tak heran kalau kemudian manusia lebih cenderung mengalir bersama nalurinya dari pada megikuti akalnya. Oleh karenanya, rahmat Allah Swt kepada manusia hanya akan sempurna apabila rahmat tersebut termasuk memberikan arahan khusus kepadanya melalui hukum-hukum-Nya. Maka, pada ayat ini, Allah Swt menyatakan Dia-lah raja yang membimbing manusia dengan aturan-aturan dari-Nya yang disebut dengan Dîn(Agama). Allah Swt mengutus rasul dan menurunkan kitab untuk merealisasikannya. Tidak ada aturan Allah kecuali untuk melindungi manusia dari kejahatan dirinya sendiri. Pernyataan mâliki yaumiddîn setelah al-rahmân dan al-rahîm sangat tepat mengingat betapa luas dan universalnya rahmat dan nikmat Allah sehingga bisa melenakan manusia dari tanggung jawab. Dia menjadi tidak takut melanggar aturan Allah karena mengetahui Allah adalah al-rahmân yang rahmat-Nya lebih luas dari segala yang ada. Yakni, dengan ayat mâliki yaumiddîn, para penikmat rahmat Allah Swt menjadi sadar bahwa ada hari di mana segala yang dinikmatinya akan diminta pertanggungjawabannya, apakah dipergunakan sesuai dengan jalan rahmat (kebaikan) atau jalan maksiat (keburukan). Kesadaran ini pun bagian dari rahmat. Sebab-sebab atau ayat-ayat yang mendatangkan kesadaran ini pun adalah rahmat yang tak lain merupakan kandungan dari rahmân dan rahîm-Nya. Disebut yaumiddîn, yakni Hari Pembalasan yang diungkpkan dengan kosakata yang juga berarti Agama, yaitu al-Dîn. Dan Allah adalah rajanya sekaligus pemiliknya.

Yaumiddîn atau Hari Pembalasan mesti adanya. Yakni logis. Dan mesti Allah rajanya. Hari itu adalah hari di mana tidak ada raja selain-Nya. Karena yang bukan rabbil ‘âlamîn, al-rahmân dan al-rahîm, tidak akan bisa adil dengan sempurna. Oleh karenanya dinyatakan, Allah adalahmâliki yaumiddîn. Penulis lebih suka menerjemakannya dengan kalimat “Raja Pemilik hari Pengadilan,” dari pada kalimat “Pemilik hari Pembalasan.” Bukan berarti dalam kehidupan dunia Allah bukan raja dan pemilik. Melainkan Allah Swt tetap raja dan pemilik. Tapi di kehidupan dunia ini, Allah Swt merajai manusia dan seluruh makhluk dengan ke-rabb-an-Nya dan rahmân-rahîm-Nya, bukan dengan ke-malik-an-Nya. Allah tidak menjadikan manusia raja di bumi, melainkan menjadikannya khalifah, wakil Allah, pemakmur bumi dengan segala potensi jasmani dan rohani yang dilekatkan padanya. Kekhalifahannya bersifat tetap. Adapun kerajaan manusia tidak tetap. Allah memberikan dan mencabut dari orang yang dikehendakinya. Hal ini tak lain untuk menyempurnakan rahmat-Nya dan sekaligus mengukuhkan keadilan-Nya. Kalau ke-malik-an Allah ditampakkan di dunia maka rahmat Allah tidak akan difahami manusia secara sempurna. Demikian pula keadilan-Nya tidak akan diketahui secara nyata. Meski bagi manusia yang hati, akal, dan nuraninya aktif memproduksi kebaikan (disebut syukur atas nikmat dan rahmat Allah) tidak perlu menunggu akhirat, atau menunggu ayat 4 ini untuk mengetahui keadilan Allah. Ia bisa berhenti di rabbil ‘âlamîn. Di sana dia melihat rahmat, kerajaan, hukum dan keadilan Allah di dalamnya. Juga bisa berhenti di al-rahmân atau al-rahîm. Di sana dia melihat semuanya. Sehingga satu kali al-Fâtihah mampu menjadikannya manusia seutuhnya. Manusia inilah yang sebenarnya mempunyai kapasitas menjadi pemimpin di bumi. Tidak akan ada sehelai daun dan rumput yang terinjak atau ranting pohon yang patah kecuali mendapatkan keadilannya.

Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H.) dalam tafsirnya menulis kisah Anusyirwan (w. 571 M.), kaisar Persia yang dikenal adil dalam memimpin kerjaannya. Ia punya kebiasaan berburu di hutan. Dalam salah satu perburuannya, ia terpisah dari rombongan perjurit yang mengawalnya lalu masuk ke sebuah kebun delima milik salah seorang rakyatnya. Ia kehausan setelah mengejar hewan buruan yang tak kunjung dapat ditangkap. Tak tampak seperti seorang kaisar. Ia melihat pohon delima begitu lebat mengelilinginya. Lalu meminta kepada seorang anak kecil yang ada di situ untuk memetik satu buah untuknya. Anusyirwan meraih delima dari tangan anak tersebut lalu membelahnya, mengeluarkan bijinya, dan memerasnya. Air perasannya melimpah. Anusyirwan meminumnya. Rasanya sangat lezat dan membuatnya takjub. Terbersit dalam fikirannya untuk menguasai kebun tersebut dari tangan pemiliknya. Lalu Anusyirwan meminta diambilkan satu buah lagi. Ia memerasnya tapi air hasil perasannya sedikit, tidak banyak seperti yang pertama. Anusyirwan kaget setelah diicicipi rasanya tidak enak. Rasanya seperti meminum racun. Anusyyirwan berkata kepada anak pemetik delima tersebut: “Mengapa rasanya menjadi tidak enak begini?” Anak tersebut menjawab: “Barangkali raja negeri ini sedang berniat zhalim. Lalu, karena keburukan zhalimnya, rasa delima ini berubah menjadi tidak enak.” Anusyirwan kaget dan segera menghentikan niat buruknya untuk menguasai kebun tersebut lalu meminta diambilkan satu buah lagi. Dan air perasaan delima kembali melimpah dan rasanya pun sangat enak seperti yang pertama. Anusyirwan berkata: “Mengapa bisa menjadi manis lagi.” Anak kecil pemetik delima menjawab: “Mungkin raja telah bertaubat dari niat buruknya.” Setelah mendengar jawaban anak kecil tersebut Anusyirwan bertaubat total dari perbuatan zhalimnya sampai Allah abadikan keadilannya menjadi legenda rakyat (Persia dan Arab) padahal dia dikenal sebagai penyembah api. Terdapat sebagian ulama Islam yang meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Aku dilahirkan pada zaman seorang raja yang adil.” Maksudnya Anusyirwan. Dalam beberapa kitab Maulid Nabi dikisahkan Ausyirwan kaget salah satu balkon istananya yang megah dan kokoh mendadak runtuh. Api di tempat ibadah yang selama seribu tahun menyala tiba-tiba padam. Peristiwa itu terjadi bertepatan dengan malam kelahiran Rasulullah Saw. Karena beliau lahir pada tahun 571 Masehi yang saat itu merupakan masa keemasaan Persia di bawah kepemimpinan Anusyirwan. Dan tak berganti tahun Anusyirwan meniggal dunia.

Pelanggaran yang dilakukan manusia selama menikmati rahmat Allah Swt mengarah kepada Allah (disebut haqqullâh) dan kepada sesama manusia (disebut haqqul âdami). Ketika pelanggaran tersebut hanya mengarah kepada Allah, yakni tidak ada sangkut pautnya dengan sesama makhluk atau khususnya manusia, maka rahmân dan rahîm Allah berlaku sepenuhnya. Allah tangguhkan hukumannya. Allah tunda kematiannya. Allah tunggu taubatnya. Lalu Allah ampuni dosa-dosanya. Tapi ketika pelanggaran tersebut mengarah kepada sesama manusia, seperti korupsi dan lainnya, dan ini yang paling terasa efeknya, maka rahmân dan rahîm Allah jika diberlakukan sepenuhnya kepada pelaku pelanggaran tersebut maka akan menyebabkan pihak yang dizalimi terabaikan dari rahmat-Nya. Ini tidak adil. Sementara rahmat Allah diberikan merata dengan adil. Maka saat itulah berlaku ayat mâliki yaumiddîn, bukan ayat al-rahmân al-rahîm. Karena dalam mâliki yaumiddînada keadilan, dan keadilan tak lain adalah juga rahmat, tapi dalam porsi yang proporsional. Yaitu pada hari Pengadilan Keadilan. Allah tidak mengurangi pahala kebaikan dan tidak menambah hukuman kejahatan. Seorang yang mati syahid ditangguhkan pahalanya karena punya hutang yang belum dibayar kepada saudaranya. Pahala syahid yang besar ternyata tak mampu membebaskan seseorang dari hutang meski satu dirham. Bahkan kezhaliman kepada sesama makhluk sebutir atom akan menghambat perjalanan seorang ahli ibadah ke akhirat. Apalagi kezhaliman yang besar.

Imam Abu Hanifah (w. 150 H.), ulama besar pendiri mdzhab hanafi, berangkat menagih hutang kepada seorang yang beragama Majusi (penyembah api) dengan berjalan kaki. Sesampainya di rumah Majusi, bagian bahwa sandal Abu Hanifah penuh dengan tanah. Lalu beliau mengkesetkannya ke dinding bagian bawah rumah Majusi. Beliau sangat kaget karena menyebabkan dinding rumah Majusi kotor. Hal ini berarti beliau telah berbuat zhalim kepada Majusi hingga mengancam keselamatanya di akhirat kelak. Beliau hendak membersihkan dinding tersebut. Tapi setelah melihat kondisi permukaan dinding yang rapuh beliau mengurungkan niatnya karena khawatir menyebabkan ada bagian dinding yang ikut terkelupas meski hanya beberapa butir saja. Tidak ada cara lain untuk selamat dari kezhaliman ini kecuali harus minta ridha kepada pemilik rumah. Beliau segera mengetuk pintu rumah Majusi. Lalu keluar seorang pelayan seraya menanyakan tujuan kedatangan. Beliau tak ingat lagi tujuan menagih hutang. Yang penting baginya adalah bagaimana caranya agar Majusi memaafkan. Beliau berkata: “Tolong panggilkan tuan-mu.” Majusi mendekat ke pintu di mana Abu Hanifah berdiri. Ia kaget karena yang di depan pintu rumahnya adalah Abu Hanifah yang tentu, terpikir di benaknya, beliau akan menagih hutang. Lalu Abu Hanifah yang terlihat gelisah langsung meminta dikhlashkan dari kezhaliman yang telah dilakukan padanya karena tidak sengaja telah mengotori bagian dinding rumahnya. Orang Majusi tersebut merasa aneh dengan Abu Hanifah sekaligus takjub dengan ketinggian akhlak beliau. Ia berkata: “Aku tidak layak memaafkanmu sebelum terlebih dahulu aku mensucikan hatiku.” Hidayah Allah datang kepada Majusi melalui keindahan akhlak Abu Hanifah. Hal ini tidak terjadi kepada Abu Hanifah kecuali karena pemahaman beliau yang dalam kepada ayat mâliki yaumiddîn.

Wallâhu ’A‘lam

(Visited 23 times, 1 visits today)
Bagikan