Peradaban Ibadah

PERADABAN IBADAH
(Tafsir Surah al-Fâtihah Ayat 5)
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin

Allah Swt berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya pada-Mu kami menyembah dan hanya pada-Mu kami meminta pertolongan

Pada ayat ini terdapat dua ikrar (pengakuan) yang melukiskan bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup:

  1. Hanya pada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ)
  2. Hanya pada-Mu kami meminta pertolongan (إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ)

Penulis akan membahas terlebih dahulu ikrar yang pertama. Yaitu tentang “menyembah” atau disebut “ibadah” yang diambil dari derivasi katana‘budu (نَعْبُدُ). Ibadah, sebagaimana dikatakan imam al-Razi (w. 606 H.), adalah aktivitas yang dilakukan untuk mengagungkan pihak lain. Berasal dari kata:

 طَرِيقٌ مُعَبَّدٌ

Jalan yang ditaklukan

Karena mu‘abbad artinya mudzllalal (مُذَلَّلٌ). Yakni “dihinakan atau ditaklukan.” Yang menjadi fokus para penafsir Al-Qur’an klasik dari redaksi kalimat ikrar pada ayat ini adalah mendahulukan objek. Susunan kalimat asalnya adalah:

نَعْبُدُكَ

Kami menyembah-Mu

Objeknya, yaitu kata “Mu” atau kata ka (كَ) dikedepankan menjadi “pada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ).” Kata “pada” muncul sepontan untuk menopang kata “Mu” sebagaimana muncul kata iyyâ (إِيَّا) untuk menopang kata ka (كَ). Dalam Ilmu Balaghah, Ilmu Semantik Al-Qur’an, mendahulukan objek menunjukan Hashr atau “Penghanyaan,” sehingga terjemahnya menjadi “hanya pada-Mu kami menyembah.” Mengapa ibadah, juga meminta pertolongan, diarahkan hanya pada Allah?

Ibadah adalah puncak pengagungan yang tentu tak layak diarahkan kecuali kepada pucuk pemberi nikmat, yaitu Allah (al-rahmân). Nikmat teragung dari-Nya adalah menciptakan hidup dan sebab-sebabnya. Tanpa hidup, manusia tidak dapat menikmati apa pun sebagaimana diisyaratkan oleh surah Maryam ayat 9 dan surah al-Baqarah ayat 28. Sama halnya jika Allah memberikan hidup tapi tidak menciptakan fasilitas hidup maka tidak juga dapat menikmati. Segala sebab kehidupan di bumi berhubungan dengan tata kosmik seluruhnya. Dengan demikian semua nikmat tidak akan terwujud jika tidak diwujudkan oleh Allah, sehingga benar, ibadah tidak dapat ditujukan kecuali kepada-Nya. Inilah mengapa redaksi ikrar ibadah diungkapkan dengan “penghanyaan” (Hashr).

Pada tiga ayat sebelumnya Allah Swt menyebut diri-Nya dengan lima nama, yaitu Allâh, Rabb (Tuhan), al-Rahmân, al-Rahîm, dan Mâlik Yaum al-Dîn. Manusia mengalami tiga masa, yaitu Masa Lalu, Masa Sekarang, dan Masa Depan. Masa lalu manusia adalah ketiadaan lalu Allah Swt mengadakannya. Setelah diadakan manausia masih dalam keadaan bodoh lalu Allah mengajarinya. Yakni, manusia bergantung pada Tuhan semenjak zaman ketiadaannya. Dialah Allâh. Di masa sekarang (kehidupan dunia) manusia lebih membutuhkan Allah. Karena setelah diadakan, segala pintu kebutuhan terbuka, maka Dialah Rab, al-Rahmân al-Rahîm. Masa depan manusia adalah masa setelah kematian. Nama Allah yang berhubungan dengan kehidupan setelah mati adalah Mâliki Yaumiddîn. Dengan demikian, kelima sifat Allah pada tiga ayat sebelumnya berkaitan dengan tiga periode kedaan manusia. Oleh karenanya kamaslahatan manusia pada Masa Lalu, Masa Sekarang, dan Masa Depan tidak akan sempurna kecuali dengan Allah. Maka pasti manusia tidak boleh sibuk beribadah kepada sesuatu kecuali beribadah kepada Allah. Pantas manusia mengikrarkan “hanya pada-Mu kami beribadah.”

Penghambaan adalah kerendahan dan kehinanaa. Hamba yang hebat adalah yang paling rendah dan hina di hadapan tuannya. Semakin agung yang diperhambakan (disembah) maka semakin rendah dan hina penghambaan padanya. Tiada yang diperhambakan yang lebih agung dari Allah maka menghamba pada-Nya berbeda dengan menghamba kepada yang lain. Harus ada “penghanyaan” pada-Nya. Kuasa Allah lebih tinggi dari kuasa selain-Nya. Ilmu-Nya lebih sempurna dari ilmu selain-Nya. Wujud-Nya lebih utama dari wujud selain-Nya. Dapat disimpulkan dengan pasti bahwa menghamba pada-Nya tidak sama dengan menghamba kepada selain-Nya. Harus diutamakan dan di-hanya-kan. Selain-Nya bersifat mungkin. Tidak pasti. Segala yang bersifat mungkin dan tidak pasti adalah berkebutuhan. Yang berkebutuhan tentu sibuk dengan kebutuhan dirinya. Tidak mungkin memenuhi kebutuhan selainnya. Sesuatu yang tidak mencukupi dirinya tidak akan mampu mencukupkan kebutuhan selainnya. Yang tidak berkebutuhan hanya Allah. Yang mencukupkan kebutahan hanya Dia. Maka, hanya Dia tempat menyembah.

Ketika manusia membaca iyyâka na‘budu, bukan na‘buduka, maka langsung tersadarkan bahwa yang disembah adalah Allah. Karena lisan langsung bersentuhan dengan kata yang menunjukan diri-Nya bukan dengan yang menunjukan penghambaannya. Dia akan fokus dan tidak akan malas mengagungkan-Nya. Juga tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Dikisahkan seorang ustadz bergulat melawan seorang pegulat sangar dan berwatak keras. Berkali kali pegulat sangar itu berhasil menjatuhkan sang ustadz. Tapi setelah pegulat sangar tersebut diberi tahu bahwa lawannya adalah seorang ustadz yang shalih dan kuat maka dia tak mampu lagi menjatuhkannya kemudian kalah. Hal ini karena pegulat sangar tiba-tiba mempunyai persepsi bahwa ternyata lawannya orang hebat. Mentalnya jatuh. Demikian pula dalam surah al-Fâtihahini, Allah Swt meperkenalkan dulu diri-Nya dengan kata iyyâka yang menunjuk kepada Rabb al-Rahmân al-Rahîm Mâliki Yaumiddîn sehingga ibadah berlangsung dengan penuh rasa dan tidak bercamapur lalai. Rangkaian ibadah yang meliputi berdiri, rukuk, dan sujud bisa jadi berat dan sulit, maka dengan menyebut iyyâka terlebih dahulu maka hati menjadi ingat bahwa yang sedang diibadahi adalah Allah maka ibadah akan menjadi mudah.

Orang yang hendak membawa benda yang berat akan mepersiapkan diri terlebih dahulu dengan memakan makan yang menambah kekuatannya. Sama halnya seorang hamba ketika hendak memikul perintah-perintah Allah yang berat akan mengkonsumi suplemen makrifat kepada Allah dalam kapsul iyyâka hingga menjadi kuat memikul beban ibadah. Contoh lain, seorang perindu yang dipukuli di hadapan yang dirinduinya demi yang dirinduinya maka pukulan akan terasa mudah baginya. Demikian pula ketika manusia telah menyaksikan keindahaniyyâka maka akan ringan baginya memikul beban penghambaan. Allah Swt. berfirman dalam surah al-A‘râf ayat 201:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَاهُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa ketika tersentuh bisikan dari setan maka mereka menyadarinya, mereka pun melihat (QS al-A‘raf: 7 : 201)

Nafsu yang dipengaruhi bisikan setan sehingga menjadi malas, lalai, dan berbuat yang sia-sia akan segera menyadari kehadiran Allah di balik kata iyyâka. Ia menjadi awas, jeli melihat dan waspada serta siap mengerjakan ibadah. Setan tidak akan mampu menyalip dalam ibadah yang mendahulukan iyyâka.

Sebagian muhaqqiqîn (para ulama pembukti substansi kehidupan) berkata, orang yang ketikan mendapat nikmat melihat kepada pemberi nikmat bukan kepada nikmat maka ketika mendapat keburukan akan melihat kepada pemberi keburukan bukan kepada keburukan. Maka dia selalu dalam keadaan mengenal Allah Swt. Orang yang keadaannya seperti demikian berada dalam puncak tertinggi dari kebahagiaan. Dia tidak akan pernah bersedih dan tidak akan pernah sulit. Sedangkan orang yang ketika mendepatkan nikmat melihat kepada nikmat bukan kepada pemberi nikmat maka ketika mendapatkan keburukan pun akan melihat pada keburukan bukan kepada pemberi keburukan. Maka dia tenggelam dalam selain Allah setiap saat. Berarti dalam keadaan celaka selamanya. Karena ketika sedang menemukan nikmat dia akan selalu merasa takut kehilangan yang sangat menyiksa, dan ketika sedang tidak menemukan nikmat maka akan selalu merasa dalam kehinaan dan bencana. Dia benar-benar berada dalam belenggu kehidupan. Oleh karenanya, dalam Al-Qur’an, Allah berkata kepada umat Nabi Musa (Bani Israil):

يَا بَنِي إسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ،،،

Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku (QS al-Baqarah, 40).

Allah perintahkan mereka mengingat nikmat karena mereka hanya mengerti nilainya nikmat pada nikmat bukan pada pemberi nikmat. Sedang ketika berkata kepada umat Muhammad Saw, Allah mengatakan:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

Ingatlah Aku maka Aku akan mengingtmu (QS al-Baqarah, 2: 152)

Yakni, bukan nikmat yang diperintahkan untuk diingat, tapi pemberinya. Dalam ayat ini (surah al-Fâtihah ayat 5), Allah mendahulukan iyyâkayang menunjukan diri-Nya agar manusia tenggelam dalam penyaksin cahaya keagungan iyyâka. Yakni fokus kepada iyyâka bukan ke ibadahnya. Jika di sepanjang ibadah keadaannya demikian maka dia benar-benar bermukim dalam cahaya surga. Allah Swt berfirman dalam Hadits Qudsi:

وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ

Tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya, dan ketika Aku mencintainya maka Aku adalah pendengaran dan penglihatannya. (HR Bukhari)

Huruf nûn (ن) pada kata na‘budu (نعبد) adalah nûn ‘azhamah (pengagungan). Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan “kami” padahal tunggal. Hal ini menunjukan bahwa seseorang, ketika sedang di luar shalat atau ibadah, tidak dapat mengatakan “kami” meskipun bersama satu juta orang. Tetapi ketika sedang dalam shalat, membaca Al-Qur’an, atau dalam ibadah lainnya seraya menampakan kehambaan maka harus mengatakan “kami” untuk menampakan kepada semua makhluk bahwa setiap yang berstatus hamba Allah adalah sama di hadapan Raja Dunia dan Akhirat. Mengatakan “hanya pada-Mu aku menyembah” adalah kesombongan, sedang mengatakan “hanya pada-Mu kami menyembah” adalah ketawadhuan (kerendahan hati). Yang tawadhu kepada Allah akan ditinggikan derajatnya. Selain itu huruf nûntersebut menunjukan, hendaknya shalat, juga ibadah-ibadah lainnya, dilakukan secara berjamaah. Orang yang memakan bawang merah atau bawang putih tidak boleh ikut berjamaah agar orang-orang tidak terganggu dengan baunya. Kalau bau mulut saja menjadikan seseorang tidak diidzinkan ikut berjamaah karena khawatir mengganggu yang lain maka apalagi bau ghibah, memfitnah dan mengadu domba. Jangan berharap dapat meraih ibadah berjamaah. Ketika sedang shalat sendirian maka kata “kami” menunjuk kepada para malaikat yang bersamanya. Orang-orang mukmin adalah saudara. Jika mengatakan “hanya pada-Mu aku beribadah” maka hanya menyebut ibadah dirinya, tidak menyebut ibadah selainnya. Sedang jika mengatakan “hanya pada-Mu kami beribadah” maka berarti menyebut ibadah dirinya dan ibadah selainnya seakan-akan sedang berusaha mengerjakan kepentingan-kepentingan mukminin. Jika demikian maka Allah akan memenuhi hajat-hajatnya sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

وَاللهُ فِي عَونِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَونِ أَخِيهِ

… dan Allah menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya (HR Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah)

Juga, dengan mengatakan “kami,” dia tidak menjadi sendirian dalam ibadah sehingga tidak khawatir ibadahnya yang penuh kekurangan ditolak.

Yang mengetahui faidahnya ibadah akan senang sibuk dengan mengerjakannya dan merasa berat mengerjakan selainnya. Ibadah adalah amanah. Para sahabat melihat seorang Arab baduy datang ke pintu masjid. Ia turun dari untanya dan membiarkannya tanpa diikaat lalu masuk masjid. Ia shalat dengan khusyuk dan tenang lalu berdoa sampai para sahabat takjub. Ketika keluar dia tidak menemukan untanya. Ia berdoa: “Tuhan, telah kutunaikan amanah-Mu maka mana amanah-ku?” Para sahabat makin kaget. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki di atas unta orang Arab baduy tersebut dengan keadaan tangannya yang sudah terpotong lalu menyerahkan unta tersebut kepadanya. Hal ini karena dia telah menjaga amanah Allah maka Allah menjaga amanahnya. Selain itu sibuk ibadah berarti pindah dari alam tipu daya menuju alam kebahagian. Seekor ular jatuh dari atap ketika imam Abu Hanifah (w. 150 H.) sedang shalat. Orang-orang berlarian menghindari ular tersebut. Tapi imam Abu Hanifah tidak merasakan apa-apa karena tengah merasakan lezatnya shalat. Bagian tubuh ‘Urwah bin al-Zubair (w. 94 H.)  terkena penyakit yang mengharuskan amputasi. Ketika ‘Urwah shalat maka orang-orang memotong bagian tubuh tersebut dan ‘Urwah tidak merasakan pemotongan sama sekali. Hal ini sama halnya dengan para wanita yang tak terasa mengiris tangannya karena terkesima melihat ketampanan Nabi Yusud a.s. (QS Yusuf, 31).

Ikrar yang kedua adalah “hanya pada-Mu Kami meminta pertolongan.” Tiada daya upaya menjauhi maksiat kecuali dengan penjagaan Allah dan tiada kekuatan mengerjakan ibadah kecuali dengan taufiq Allah. Adakalanya manusia telah diperintah mengerjakan sesuatu atau bahkan menginginkannya dalam waktu yang cukup panjang tapi tak kunjung mengerjakan. Kemudian suatu hari dapat mengerjakannya. Keadaan tersebut tidak datang kecuali karena ada dorongan yang kuat dalam hati. Menancapkan dorong-dorongan pembangkit dalam hati dan menghilangkan dorong-dorongan pengendur tak datang kecuali dari Allah Swt. Inilah yang dimaksud dengan perotolongan yang dipinta dalam ikrar kedua ini. “Hanya pada-Mu kami meminta pertolongan.” Yakni “Kami tidak menginginkan pertolongan dari selain-Mu.” Ketika Namrud mengikat kedua tangan dan kaki Nabi Ibrahim dan melemparkannya kedalam api maka malaikat Jibril datang kepadanya seraya berkata: “Apakah kamu memerlukan sesuatu?” Nabi Ibrahim menjawab: “Adapun padamu aku tidak memerlukan apa-apa.” Jibril berkata: “Pintalah.” Nabi Ibrahim berkata: “Pintaku pada-Nya cukup pengetahuan-Nya padaku.” Orang yang sedang shalat seakan hendak dilemparkan ke dalam Jahannam sedang tangan dan kaki serta seluruh tubuhnya diikat. Tidak dapat bergerak sama sekali, kalau Nabi Ibrahim tidak mengingikan selain Allah dalam meminta pertolongan hingga selamat dari kobaran api maka bagaimana orang yang shalat yang hanya meminta pertolongan kepada Allah tidak akan selamat dari Jahannam.

Dari ayat 1 sampai ayat 4, redaksi yang dipergunakan adalah redaksi orang ketiga (ghaib), sedang pada ayat ini redaksi yang digunakan adalah redaksi orang kedua (mukhâthab). Disebut dalam Ilmu Balagah dengan Iltifât, yaitu semacam pengalihan redaksi untuk tujuan tertentu. Orang ketiga menunjukan jauh atau tidak hadir, sedang orang kedua menunjukan dekat atau hadir. Orang yang shalat ketika masuk ke dalam shalat adalah orang lain (jauh). Karenanya memuji Allah dengan kalimat-kalimat orang ketiga, yaitu Allâh, al-Rahmân, al-Rahîm, dan Maliki Yamiddîn. Lalu Allah menjawabnya seakan-akan berkata: “Kau telah memuji-Ku dan menetapkan-Ku sebagai Tuhan, Rabb, Rahmân, Rahîm, dan Mâlik Yaumiddîn. Alangkah terpujinya engkau. Kusingkapkan tirai dan Kuganti jauh dengan dekat. Maka sekarang berkatalah dengan dekat: “Hanya pada-Mu kami menyembah dan hanya pada-Mu kami meminta pertolongan.”

Wallâhu A‘lam 

(Visited 39 times, 1 visits today)
Bagikan