Semesta Itu Bertuhan

MEM-BISMILLAH-KAN KEHIDUPAN
(Tafsir Surah al-Fâtihah Ayat 2)
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin

Allah Swt berfirman:

الَحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِينَ

Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam

Kalimat al-hamdu lillâhi rabbil ‘âlamîn, atau dipotong menjadi al-hamdulillâh sudah terbiasa terucap dalam obrolan sehari-hari, bahkan lebih sering diucapkan dari pada lafal bismillah. Disadari atau tidak, ketika lisan mengucapkan al-hamdulillâh, maka lisan tersebut, sebenarnya, sedang melafalkan sebuah penggalan dari ayat Al-Qur’an. Yakni, lisannya sedang ngaji. Mengucapkan kalalimat al-hamdulillâh disebut tahmîdyang, jika dibaca, sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim (w. 261 H.),  akan memberatkan neraca amal kebaikan. Dalam bahasa Arab, penyebutannya disingkat menjadi hamdalah. Tapi dalam tulisan ini penulis akan langsung menyebutnya dengan kalimat al-hamdulillâhagar penulis beserta pembaca tanpa terasa telah melafalkan tahmîd berulang kali.

Kalimat Al-Hamdulillâh tak diucapkan kecuali dalam konteks nikmat. Dalam kaitannya dengan surah al-Fâtihah, nikmat tersebut adalah segala nikmat yang diberikan Allah kepada makhluk-makhluk-Nya sebagai menifestasi dari sifat dan nama al-rahmân dan al-rahîm pada ayat sebelumnya, yaitu dua kata terakhir dari bismillah, dan pada ayat setelahnya. Keduanya, sebagaimana akan dijelaskan pada penafsiran ayat 3, berarti Allah maha memberi nikmat, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya dari Allah. Oleh karenanya, setelah bismillah, disambung langsung dengan al-hamdulillâh.

Lafazh Allâh (الله) pada ayat ini adalah yang kedua dari 2699 lafazh Allâh (الله) dalam Al-Qur’an setelah sebelumnya terbaca satu kali dalambismillah. Tapi jika dibaca dengan redaksi lillâhi (لله) maka merupakan yang pertama kali disebut dalam Al-Qur’an dari 143 lillâhi. Allâh adalah nama yang khash (spesial). Tidak ada yang bernama Allâh selain-Nya sepanjang sejarah meski bercanda. Tidak ada yang berani main-main dengan nama ini, baik di bumi maupun di langit. Sangat sakral. Mayoritas ulama menyebutnya al-Ism al-’A‘zham (baca: Ismul A‘zham), yakni Nama Teragung. Lâm-nya dibaca tebal (tafkhîm) dalam Al-Qur’an. Yakni vocal “a” setelah lâm (ل) atau huruf el (l) dibaca mendekati huruf “o.” Dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibn Katsir (w. 774 H.) mengemukakan bahwa sebelum turun Al-Qur’an, orang-orang Arab menyebut nama Allâh dengan tipis (tarqîq). Yakni vokal “a” setelah lâm tetap dibaca “a” seperti yang sering terucap dari lisan penganut salah satu agama selain Islam. Imam Sibawaih (w. 180 H.) bersama para pakar Ilmu Nahwu lainnya menilai lafazh Allâh (الله) sebagai ’a‘raf al-ma‘ârif, kata definitif yang paling definitif.

Dalam kondisi lemah, misalnya saat sakit, lelah, sulit, dan takut, manusia, semuanya, secara refleks, suka mengaduh, atau menjerit. Dari lisannya keluar kata-kata semisal “ah.” Siapakah yang dia panggil dengan kata “ah?” Yang jelas, ia adalah ekspresi kelemahan dan meminta pertolongan kepada kekuatan di luar dirinya. Lafazh Allâh (الله) adalah lafal paling sempurna untuk memanggil Dia. Hal ini sesuai dengan pendapat sebagian ulama bahwa lafazh Allâh (الله) berasal dari kata aliha ya’lahu (أَلِهَ، يَاْلَهُ) yang secara harfiyah berarti berlindung spontan ketika datang kondisi tidak stabil. Oleh karenanya, dalam sebagian referensi tafsir, disebutkan bahwa lafazh Allâh (الله), jika dicabut hamzah-nya maka akan menjadi lillâh (لله), artinya untuk atau karena Allah. Jika dicabut salah satu lam-nya, maka akan menjadi lahû (لَهُ) yang berarti untuk-Nya. Jika dicabut kedua lâm-nya, maka menjadi (هُ), artinya Dia. Yakni, dicabut huruf yang manapun darinya, tetap akan menunjuk kepada Dia, yang kemudian disebut dengan ilâh (إِلَه), Tuhan. Karena-nya segala pujian atas segala nikmat bermura kepada Sang Pemilik Nama Allâh.

Puji dalam bahasa Arab mempunyai tiga kata, yaitu al-hamd (الحمد), al-madh (المدح), dan al-syukr (الشكر). Tapi al-hamd lebih khusus dari al-madhdan lebih umum dari al-syukr. Ketika kita melihat mutiara yang indah lalu lisan kita memujinya, maka pujian tersebut dinamakan al-madh, bukan al-hamd. Hamd hanya untuk memuji yang hidup, tidak untuk memuji benda mati. Hamd pun hanya terjadi setelah yang dipuji memberikan kebaikan, sedang madh bisa terjadi tanpa didahului kebaikan. Adakalanya madh tidak baik seperti memuji untuk pencitraan. Tapihamd hanya kebaikan. Kebaikan yang dipuji dengan madh adalah semua aspek kebaikan, sedang kebaikan yang dipuji dengan hamd adalah kebaikan tertentu, yaitu kebaikan berupa memberi nikmat. Adapun al-syukr adalah pujian yang lebih khusus dari hamd, yakni pujian atas nikmat yang diberikan kepada diri sendiri, bukan kepada orang lain, sedang hamd mencakup nikmat yang diberikan kepada orang lain. al-Syukr pun hanya pujian atas datangnya nikmat, sedang hamd mencakup pujin atas perginya keburukan. Oleh karenanya redaksi al-hamdulillâh sangat tepat dan bersuaian dengan konteks nikmat Allah Swt yang diberikan kepada semesta. Dan, pada hakikatnya, hampir tidak ada nikmat yang individual. Bahkan nikmat yang diberikan kepada seseorang pun, misalnya, maka sampainya nikmat tersebut melibatnya banyak makhluk Allah dari tangan ke tangan. Dari sini, di antara bentuk syukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt adalah berbagi dengan sesama makhluk di jalan Allah seraya mengatakan al-hamdulillâh.

Mengatakan al-hamdulillâh adalah ikrar adanya Tuhan yang mana akal tak mampu memahami ketiadaan-Nya. Redaksi al-hamdulillâh, segala puji hanya bagi Allah, bukan ahmadullâha (أَحْمَدُ اللهَ). Artinya “Saya memuji Allah.” Kalimat al-hamdulillâh menunjukan Allah terpuji sebelum para pemuji memuji dan sebelum para pensyukur bersyukur. Sama saja bagi Allah apakah mereka memuji atau tidak, dan apakah mereka bersyukur atau tidak, Dia tetap terpuji. Karenanya katakan al-hamdulillâh jangan katakan redaksi pujian yang lain. Pujian dalam al-hamdulillâhadalah pujian yang layak bagi Allah yang tak tergantikan dengan kelimat yang lain meski sepenuh semesta. Substansi puji adalah aktivitas hati, ketika seseorang memuji Allah dengan al-hamdulillâh, dia tidak jatuh pada kebohongan meski mengucapkannya dalam keadaan sedang lalai, berbeda dengan redaksi ahmadullâh, yaitu saya memuji Allah, maka pengucapnya akan jatuh pada kebohongan jika mengucapkannya dalam keadaan lalai.

Huruf lâm (ل) pada kata lillâhi (لله) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata “bagi,” memupunyai tiga makna, yaitu pertama, kekhususan yang layak. Yakni, segala puji khusus dan hanya layak bagi Allah, disebut li al-ikhtishâh. Kedua, li al-milk (milik), yakni segala puji hanya milik Allah. Ketiga, li al-qudrah wa al-istilâ’ (menguasai), yakni segala puji dikuasai Allah Swt. Ketika kita mengatakan al-hamdulillâh,maka ketiga makna lâm tersebut hadir bersamaan di dalamnya. Sama hal-nya dengan imbuhan al (أل) pada kata al-hamdu (الحمد) mempunyai tiga makna. Pertama li al-‘ahd, yaitu menunjuk kepada makna puji yang telah diketahui, baik karena pujian tersebut nyata hadir atau karena sudah diketahui dalam hati. Semakin dalam pengetahuan dan pemahaman terhadap makna-makna puji dengan segala aspeknya maka bobotal-nya semakin berat sampai tak terungkapkan dengan kata-kata. Kedua, li al-istighrâq, yakni segala puji. Ketiga, li al-mâhiyah atau li al-jinsi. Yakni menunjukan substansi puji. Tidak dimilik, tidak layak, juga tidak dikuasai oleh selain Allah. Al-Hamdulillâh mengekspresikan pujian Allah pada diri-Nya, pujian Allah pada makhluk-Nya, pujian makhluk pada Allah, dan pujian makhluk ke makhluk.

Allah yang segala puji hanya bagi-Nya adalah rabb al-‘âlamîm. Rabb adalah yang dekat, yang meliputi, pemilik, pemelihara (pengurus), pendidik (pengasuh), yang banyak kebaikannya, pemberi nikmat, pencipta, penambal luka, yang memperbaiki, yang menemani, yang kokoh, penghimpun, dan penghulu (tuan). Sedang al-‘âlamîn adalah segala sesuatu selain Allah, yaitu langit dan bumi beserta seluruh isinya, termasuk manusia, juga termasuk ruang dan waktu. Allâh adalah Rabb semuanya. Alam semesta yang luas membutuhkan Allah Swt sebagairabb. Apalagi manusia yang tak hanya berdimensi fisik, tapi juga ruh, lebih membutuhkan Allah. Hanya Allah pemberi nikmat lahir dan nikmat batin secara bersamaan kepada manusia. Oleh karenanya, tiada yang layak dikatakan secara berulang oleh menusia selain al-hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

Terdapat empat surat selain al-Fâtihah yang dimulai dengan al-hamdulillâh. Yaitu:

  1.  Surah al-‘An‘âm (6) yang menjelaskan tentang nikmat di dalam penciptaan langit dan bumi serta nikmat di dalam menjadikan gelap dan terang
  2. Surah al-Kahfi (18) yang menjelaskan tentang nikmat di balik turunnya Al-Qur’an
  3. Surah Saba’ (34) yang menjelaskan tentang nikmat di balik penciptaan segala sesuatu di langit dan segala sesuatu di bumi
  4. Surah Fâthir (35) yang menjelaskan tentang penciptaan langit dan bumi serta dijadikannya malaikat bersayap, dua, tiga, dan empat sebagai makhluk spiritual.

Kesemua nikmat tersebut tak lain adalah bagian dari penjabaran rabbil ‘âlamîn.

Kata ‘Âlam (العالم), meski tanpa dibaca ‘âlamîn (العالمين), yakni tanpa menambahkan yâ’ dan nûn (ين) padanya yang berfungsi menjamakkan, sudah menyimpan arti segela sesuatu selain Allah. Yakni sudah berarti banyak. Penambahan dan nûn padanya tak lain hanya untuk menguatkan hingga mencakup segala alam yang belum diketahui manusia dengan akalnya. Berasal dari kata al-‘alam (العَلَمُ), artinya tanda atau alamat (العلامة). Alam semesta, atau segela sesuatu selain Allah tak disebut alam kecuali karena merupakan tanda keberadan Pencipta dan Pengurus-nya, yaitu Allah Swt. Pemahaman dan pengetetahuan yang kuat dan tinggi sehingga spontan menyimpulkan keberadaan-Nya dari setiap penemuan ilmiah disebut ilmu (العِلْمُ). Orang yang berilmu disebut ulama. Ukuran keilmuan ulama bukan seberapa banyak ilmu atau penemuannya, tapi seberapa besar takutnya kepada Allah. Di hadapan Allah sebagai Rabb, mereka sebagai bagian dari ‘âlamîn tidak berbeda dan tak lebih hebat dari makhluk lain. Bahkan dalam tataran ‘âlamîn ini, sekali lagi, dalam tataran ‘âlamîn ini, ulama dan batu adalah sama, bahkan muslim dan non muslim pun sama. Allah bukan rabb mereka saja, tapi rabb al-‘âlamîn. Allah Swt memasukan para pecinta-Nya ke surga karena Dia adalah rabb mereka, dan Allah Swt memasukan para penginkar-Nya ke neraka karena Dia pun rabb mereka.

Lafazh Allah, sebagaimana telah dijelaskan di atas, terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 2699 kali. Ada ayat yang menyimpan lafazh Allah satu kali seperti dalam surah al-Fâtihah ini, ada yang dua kali, ada yang tiga kali, ada yang empat kali, ada yang lima kali, ada yang enam kali, dan ada yang tujuh kali. Tidak ada yang delapan kali. Yakni, maksimal 7 kali. Ayat Al-Qur’an yang menyimpan lafazh Allah Swt sampai 7 kali adalah surah al-Muzzammil (73) ayat 20. Yaitu:

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَ(اللَّهُ) يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ (اللَّهِ) وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ (اللَّهِ) فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا (اللَّهَ) قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ (اللَّهِ) هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا (اللَّهَ) إِنَّ (اللَّهَ) غَفُورٌ رَحِيمٌ

Ayat ini tidak penulis terjemahkan karena pengutipannya foنus untuk melihat tujuh (7) lafazh Allah (الله) yang dikandungnya. Komposisi lafazh Allah dalam Al-Qur’an yang demikian adalah mirip lapisan Kulit Atom yang adakalanya satu lapis, dan adakalanya lebih dari satu lapis, sampai maksimal 7 lapis. Tidak ada lapis yang kedelapan. Yakni, tampaknya, dengan kata lain, alam semesta atau al-‘âlamîn menunjukan keberadaan Allah sebagai rabb dimulai dari tingkat atom.

Demikian.  

وَالحَمْدُ لِله رَبِّ العَالَمِينَ

(Visited 61 times, 1 visits today)
Bagikan