Selalu Berhasil Dengan Rasulullah SAW

SELALU BERHASIL DENGAN RASULULLAH SAW
Kajian Kitab al-Khashaish al-Kubra Karya Imam al-Suyuthi (w. 911 H.)
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin

 

بَابُ مَا كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم يذهبُ فِي حَاجَةٍ لجدِّه الا أنجحَ فِيهَا

أخْرجَ البُخَارِيُّ فِي تَارِيخِه وَابْنُ سعدٍ وَأَبُو يعلى وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ عديٍّ وَالْحَاكِمُ وَصَحّحَهُ وَالْبَيْهَقِيُّ وَأَبُو نُعيمٍ وَابْنُ مندةَ من طَرِيق كِنديرِ بنِ سعيدٍ عَن أَبِيه قَالَ حججْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَرَأَيْتُ رجُلاً يطوفُ بِالْبَيْتِ وَهُوَ يَقُول

(رُدَّ إِلَيَّ رَاكِبِي مُحَمَّدًا يَا ربِّ رُدَّهْ واصطنِعْ عِنْدِي يَدًا)

قلتُ من هَذَا قَالُوا هَذَا عبدُ الْمطّلبِ بعثَ بِابْنٍ لَهُ فِي طلبِ إبلٍ لَهُ وَلم يَبْعَثهُ فِي حَاجَةٍ قطّ إِلَّا أنجحَ فِيهَا وَقد أَبْطَأَ عَلَيْهِ فَلم يلبَثْ حَتَّى جَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَالْإِبِلَ

وَأخرجَ الْبَيْهَقِيُّ وَابْنُ عديٍّ عَن بهزٍ بن حَكِيم عَن أَبِيهِ عَن جدِّه مُعَاوِيَةَ بنِ حيدَةَ قَالَ خرجَ حيدةُ بن مُعَاوِيَةَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مُعْتَمِرًا فَإِذا هُوَ بشيخٍ يطوفُ وَيَقُولُ

(رد إِلَيّ راكبي مُحَمَّدًا يَا رب رده واصطنع عِنْدِي يدا)

قلت من هَذَا قَالُوا سيدُ قُرَيْشٍ عبدُ الْمطلبِ لَهُ إبلٌ كَثِيرَةٌ فَإِذا ضلَّ مِنْهَا شَيْءٌ بعثَ فِيهَا بنِيهِ يطلبونها فَإِذا أَعْيَى بنُوه بعثَ ابْنَ ابْنِه وَقد بَعثَه فِي ضَالَّةٍ أعيى عَنْهَا بنوه وَقد احْتبسَ عَنهُ فَمَا بَرحْتُ حَتَّى جَاءَ مُحَمَّد ٌصلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَجَاءَ بِالْإِبِلِ

Terjemah

Bab tidak semata-mata Nabi Saw pergi untuk memenuhi kebutuhan kakeknya kecuali berhasil. Imam al-Bukhari (w. 256 H.) dalam Târikh-nya, Ibn Sa‘ad (w. 230 H.), Abu Ya‘la (w. 307 H.), al-Thabarani (w. 360 H.), Ibn Adi (w. 365 H.), al-Hakim (w. 405 H.) dan mensahihkannya, al-Baihaqi (w. 458 H.), Abu Nu‘aim (w. 430 H.), dan Ibnu Mandah (w. 395 H.) mengemukakan riwayat melaui Kindir bin Sa‘id dari ayahnya yang berkata: Aku berhaji pada zaman Jahiliyah lalu melihat seorang laki-laki yang sedang thawaf di Baitullah sambil berdoa dengan gubahan syair:

Kembalikan kepadaku penunggang untaku, Muhammad

Ya Tuhan, kembalikan dia kepadaku dan buatlah di sisiku kekuatan

Aku berkata: “Siapakah itu?” Mereka berkata: “Dia adalah Abdul Muthalib. Dia menyuruh anaknya untuk mencari untanya. Yaitu seorang anak yang tidak semata-mata diperintahkan untuk suatu kebutuhan kecuali selalu berhasil. Tapi sekarang dia telat pulang.” Lalu tidak menunggu lama kecuali Nabi Saw datang bersama unta.

Al-Baihaqi (w. 458 H.) dan Ibn Adi (w. 365 H.) mengemukakan riwayat melalui Bahz bin Hakim (w. 149 H.) dari ayahnya dari kakeknya, Mu‘awiyah bin Haidah. Ia berkata: Haidah bin Mu‘awiyah menunaikan umrah pada zaman Jahiliyyah, lalu bertemu dengan seorang laki-laki renta sambil mengatakan syair:

Kembalikan kepadaku penunggang untaku, Muhammad

Ya Tuhan, kembalikan dia kepadaku dan buatlah di sisiku kekuatan

Aku berkata: “Siapa dia?” Mereka berkata: “Dia adalah pemimpin kaum Qursiay, Abdul Muthalib. Dia punya banyak unta. Apabila satu dari unta-untanya hilang maka akan mengirimkan anak-anaknya untuk mencari. Jika mereka tidak berhasil menemukannya maka akan mengutus seorang cucu laki-lakinya. Dan sekarang dia tengah mengutus cucuknya itu mencari unta yang hilang yang sudah tidak dapat ditemukan oleh anak-anaknya. Tapi sudah lama belum pulang.” Lalu sebelum aku berangkat kecuali Nabi Saw sudah datang. Dan beliau datang bersama unta.

Penjelasan

Bab ini menjelaskan tumbuh kembang Rasulullah Saw di bawah asuhan kakeknya, Abdul Muthalib. Beliau tumbuh sebagai anak yang ajaib dan pembawa keberuntungan. Nama asli Abdul Muthalib adalah Syaibah. Artinya uban. Karena, menurut cerita, sudah ada uban di kepalanya sejak lahir. Ia menghabiskan masa kecilnya di Yatsrib (Madinah). Karena Haysim bin Abdi Manaf, ayahnya, menikah dengan Salma binti Amr dari kabilah Bani al-Najjar di Yatsrib yang sebelumnya telah kita bahas, bahwa Rasulullah Saw pernah berkunjung ke sana bersama ibunda beliau, Siti Aminah, pada usia 5 atau 6 tahun. Disebut Abdul Muthalib karena ketika Hasyim bin Abdi Manaf, ayahnya, meninggal di Gaza dalam perjalanan dagang ke Syam, Syaibah dibawa ke Mekkah oleh pamannya yang bernama al-Muthalib. Ketika sampai di Mekah, orang-orang menyebutnya dengan Abdul Muthalib. Artinya budak Muthalib. Lalu al-Muthalib mengatakan: “Dia adalah keponakanku. Namanya Syaibah.” Sejak saat itu, Syaibah, yang kini disebut Abdul Muthalib, tinggal di Mekkah.

Nama Abdul Muthalib harum di Mekkah setelah keberhasilannya menemukan sumur zamzam yang sebelumnya terbependam entah berapa abad lamanya. Yakni, sebelum Abdul Muthalib menemukannya, mata air Zamzam hanya tinggal cerita di masyarakat Mekkah dan bangsa Arab. Bahwa dahulu nenek moyang mereka, yaitu Nabi Ismail, mempunyai sumur yang penuh berkah yang tak pernah habis. Namanya Zamzam. Tak heran kemudian orang-orang Makkah mengagungkan Abdul Muthalib setelah berhasil menemukan kembali mata air Zamzam. Peristiwa Abdul Muthalib menggali sumur zamzam terjadi pada masa kekuasaan raja Persia, Qibadz bin Fairuz (w. 521 M.). Ketika penggalian dilakukan, Abdul Muthalib menemukan dua buah hasil tenun dari benang emas serta pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan lainnya. Juga menemukan 7 bilah pedang dan 7 buah baju besi. Lalu Abdul Muthalib membuat pintu Ka‘bah dari 7 bilah pedang yang ditemukan. Kemudian dibungkus dengan salah satu tenunan dari benang emasnya. Sedang tenunan emas yang satu lagi disimpan di dalam Ka‘bah. Penggalian sumur Zamzam ini berawal dari mimpi Abdul Muthalib yang berkaitan dengan isyarat dan petunjuk akan lahir seorang nabi dari keturunannya.

Abdul Muthalib dikenal dengan unta-untanya yang sangat banyak. Tidak ada lagi di Mekah orang yang untanya lebih banyak dari Abdul Muthalib. Dia sangat murah hati sehingga disebut al-Fayyâdh. Yakni yang luber pemberiannya. Dia menyediakan minuman dan makanan untuk setiap yang datang berziarah ke Ka‘bah. Pada peristwa Gajah yang kemudian menjadikan nama Abdul Muthalib semakin harum di Mekkah, dikisahkan Abrahah, ketika sampai di Mekah, mencuri unta-unta Abdul Muthalib yang begitu banyak. Mendengar hal itu, ketika orang-orang Makkah berlarian dan mengungsi ke gunung-gunung, Abdul Muthalib malah datang menghadapi Abrahah sendirian. Abrahah menjadi takjub dengan keberanian Abdul Muthalib yang menghadapi sendiri pasukan gajah yang sangat kuat. Tapi ternyata, setelah ditanya, Abdul Muthalib bukan bertujuan menghadang pasukan gajah yang hendak menyerang dan meruntuhkan Ka‘bah. Ia hanya menginginkan unta-untanya kembali. Adapun Ka‘bah silahkan saja kalau mau dihancurkan karena bukan urusannya. Tapi urusan Allah. Abdul Muthalib berkata: “Adapun unta maka akulah pemiliknya. Sedang Ka‘bah ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya.” Yaitu Allah Swt.

Di depan Ka‘bah, Abdul Muthalib mempunyai tempat duduk khsusus. Atau mungkin disebut majlis. Orang-orang Makkah berjubel dan berdesakan mengelilinginya untuk mendengarkan pesan-pesan darinya. Pernah memimpin delegasi Makkah ke Yaman untuk menemui raja Yaman, Saif bin Dzi Yazan. Rupanya nama Abdul Muthalib terdengar harumnya sampai ke Yaman. Raja Yaman memuliakannya, mengagungkannya, dan mencintanya. Dia tahu bahwa seorang nabi akan lahir dari keturunannya. Tujuan dari kedatangan Abdul Muthalib beserta rombongan ke Yaman adalah meminta dukungan kepada Saif bin Yazan untuk mengakhiri pendudukan Kaum Habasyah, yang di antaranya adalah Abrahah, di selatan Arab yang mengganggu perdagangan dan unta-unta milik penduduk. Termasuk, secara khusus, unta-unta Abdul Muthalib yang sangat banyak.

Ketika Rasulullah Saw berada dalam asuhannya, unta-unta Abdul Muthalib semakin banyak. Kalau sebelumnya sering hilang beberapa ekor di penggembalaan maka setelah ada beliau tidak hilang lagi. Bahkan jika ada unta yang hilang, bahkan tak lagi bisa ditemukan oleh anak-anak Abdul Muthalib, maka selalu berhasil ditemukan apabila yang mencarinya Rasulullah Saw. Meskipun saat itu beliau baru berumur kurang dari 8 tahun. Yakni, Abdul Muthalib selalu sukses. Tampaknya dari kisah ini dapat diambil kesimpulan bahwa Rasulullah saw telah terdidik sejak kecil untuk menjadi pemimpin yang amanah. Kalau ada ketua KPK yang seperti ini maka para koruptor tidak bisa ngumpet. Hingga pada suatu ketika, Abdul Muthalib mengirim Rasulullah Saw untuk mencari unta yang hilang yang sudah tidak bisa ditemukan lagi oleh yang lain. Namun, kala itu berbeda, Rasulullah Saw, setelah lama ditunggu, tidak kunjung datang, sampai Abdul Muthalib merasa resah dan gelisah. Khawatir kalau terjadi apa-apa kepada cucu kesayangan dan kebruntungannya. Lalu kekhawatiran itu ditumpahkan dalam syair doa yang diungkapkan sambil thawaf mengelilingi Ka‘bah. Intinya, Abdul Muthalib meminta cucunya dikembalikan dan diberikan kekuatan serta kemampuan untuk bisa menjaganya. Yakni, setelah kondisinya seperti ini, Abdul Muthalib tak lagi memikirkan untanya kembali. Biarlah unta-untanya hilang semua, asalkan cucunya kembali dengan selamat. Lalu, tidak lama setelah itu, Rasulullah Saw pun datang bersama unta yang hilang itu. Dalam riwayat lain, Abdul Muthalib berjanji tidak akan menyuruh lagi cucu kesayangannya itu mencari unta yang hilang.

Peristiwa berdoanya Abdul Muthalib sambil thawaf di Ka‘bah meminta cucunya, yakni Rasulullah Saw, dikembalikan disaksikan oleh seseorang yang berasal dari Bashrah, Irak yang sedang berhaji dan umrah. Namanya Haidah bin Mu‘awiyah. Ada yang mengatakan Haiwah.  Haidah punya anak. Yaitu Sa‘id dan Mu‘awiyah. Semua beriman kepada Rasulullah Saw. Sa‘id punya anak laki-laki. Namanya Kindir bin Sa‘id. Kindir kemudian punya banyak murid yang menjadi kran-kran kisah kakeknya yang melihat Abdul Muthalib berdoa. Kemudian sampai kepada Imam Ibn Sa‘ad (w. 230 H.) ditulis dalam kitab al-Tbaqât. Sampai kepada Imam al-Thabarni (w. 360 H.) ditulis dalam kitab al-Mu‘jam. Sampai kepada Imam Abu Nu‘aim (w. 430 H.) ditulis dalam Dalâ’il al-Nubuwah. Sampai kepada Imam al-Bukhari (w. 256 H.) ditulis dalam kitab Târîkh. Sampai kepada Abu Ya‘la (w. 307 H.) ditulis dalam kitab Musnad Abu Ya‘la. Sampai kepada Ibn Adi (w. 365 H.) ditulis dalam kitab al-Kâmil.  Sampai kepada Ibn Mandah (w. 395 H.) ditulis dalam kitab al-Târikh. Sampai kepada imam al-Hakim (w. 405 H.) ditulis dalam Târikh al-Naisâbûri. Dan sampai kepada al-Bahaqi (w. 458 H.) ditulis dalam Dalâ’il al-Nubuwwah. Dari semua kitab-kitab itu dikutip semuanya oleh Imam al-Suyuthi (w. 911 H.) dalam al-Khashâ’ish al-Kubra. Lalu saya sampaikan di Masjid al-Nahl.

Sedang Mu‘awiyah bin Haidah punya anak namanya Hakim. Hakim punya anak namanya Bahz bin Hakim (w. 149 H.). Bahz bin Hakim punya murid-murid yang menyampaikan kisah pertemuan kakek buyutnya, Haidah bin Mu‘awiyah dengan Abdul Muthalib yang tengah berdoa dalam Thafawnya meminta Rasulullah saw dikembalikan. Lalu sampai kepada Imam al-Baihaqi (w. 458 H.) dan Imam Ibn Adi (w. 365 H.) yang ditulis dalam kitab-kitab mereka. Lalu dikutip oleh Imam al-Suyuthi (w. 911 H.) dalam al-Khashâ’ish al-Kubrâyang sedang kitab bahas sekarang.

Wallâhu ’A‘lam

(Visited 225 times, 1 visits today)
Bagikan