Pandemi yang melanda negeri ini belum juga berakhir. Bahkan, terus meningkat penyebarannya. Warga dihimbau agar tetap di rumah. Dan, kalau pun keluar maka harus memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Masjid-masjid diwajibkan menerapkan standar protokol kesehatan. Bahkan, banyak yang tutup. Demikian pula nasib pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah. Dan, acara-acara offline yang menghadirkan banyak orang dilarang, termasuk resepsi pernikahan, pengajian umum, dan tablig akbar.
Tapi, di tengah gencar-gencarnya upaya dan ajakan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di mana kita dipinta bersabar menghentikan sementara kegiatan-kegiatan yang menghadirkan banyak orang, pemerintah malah tetap akan menyelenggarakan Pilkada Serentak yang tentu akan sulit menerapkan protokol kesehatan.
Hal ini bertolak belakang dengan kaidah dalam Ushul Fiqh:
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
Menolak kerusakan harus didahulukan dibanding membawa kemaslahatan.
Pilkada serentak adalah untuk kemaslahatan, sedang peluang meningkatnya penularan Covid-19 adalah kerusakan (mafsadat). Maka, Pilkada harus ditunda demi menutup peluang meningkatnya angka penularan.
Alangkah tidak bijak, atas nama kemaslahatan, apalagi hanya sebatas kepentingan politik semata, sadar atau tidak sadar, bangsa Indonesia ditumbalkan.
Rasulullah Saw bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak membahayakan dan tidak dibahayakan (dalam Islam).
Ketika pendemi melanda, Rasulullah Saw memerintahkan lockdown dan tetap di rumah dengan penuh sabar dan mengharap pahala dari Allah. Bahkan, diam di rumah diberikan pahala syahid. Ini karena, dalam Islam, tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan.
Deden Muhammad Makhyaruddin