MEMAHAMI WASIAT MBAH KIYAI ARWANI KUDUS YANG MELARANG SANTRI-SANTRINYA BERMUSABAQAH AL-QURAN
Oleh: al-faqir Deden Muhammad Makhyaruddin
Sudah lama saya mendengar dan bertemu langsung dengan para penghafal Al-Quran lulusan Kudus yang bersanad kepada Mbah Kiyai Arwani. Mereka tidak pernah mau ikutan musaqabah Al-Quran. Mereka menyandarkan ketidakmauan mereka kepada wasiat Mbah Kiyai Arwani langsung. Alhamdulillah, akhirnya saya berkesempatan melihat langsung foto manuskirip wasiat tersebut. Ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon. Manuskrip yang saya lihat bertarikh 11 Jumadal Ula tahun 1401 H., atau bertepatan dengan tahun 1981 M. Saya terkesima dengan isi wasiat beliau yang begitu dahsyat yang melukiskan kepribadian beliau yang wara’, tawadhu, dan penyayang kepada murid-muridnya. Padanya tercermin akhlak penghafal dan Al-Quran yang luhur. Ibarat menemukan air yang segar di tengah keadaan dunia menghafal Al-Quran yang kian kering dari air keikhlasan.
Berikut adalah kutipan lengkap wasiat Mbah Kiyai Arwani Kudus kepada santri-santrinya:
قال الله تعالى في كتابه العظيم
ولا تشتروا باٰياتي ثمنا قليلا
Kabeh anak putuku santri Al-Qur’an sing isih sinau ono pondokku kene utowo sing wes boyong mulih ono umahe dewe-dewe, aku gurumu Al-Qur’an ngestoake dawuh wasiate guruku Al-Qur’an Embah Kiyai Munawwir allaahu yarhamuh: Aku lan guruku ora ngelilani yen ono anak putu santri Al-Qur’an kang melu-melu daftar moco Al-Qur’an kanggo luru dun-yo. Podo ugo lantaran nganggo Musabaqah Tilawatil Qur’an utowo Musabaqah Ajwad Huffadz Al-Qur’an utowo nganggo coro liyane. Mulo songko iku kabeh anak putuku santriku kakung putri kang ora ngestuake wasiatku iki ora takdaku anak putu santriku dunyo akherat. Lan ora didaku putro wayahe Embah Kiyai Muhammad Munawwir almarhum. Jalaran guru iku: (GU) kudu digugu dawuhe. (RU) kudu ditiru tindake. Cukup semene wasiatku. Supoyo podo diestuake temenan-temenan. Wassalam.
Semua anak cucuku santri Al-Qur’an yang masih belajar di pondokku ini atau yang sudah boyong pulang ke rumahnya masing-masing, aku guru qur’an-mu mematuhi wasiat guru quran-ku Mbah Kiai Munawwir allaahu yarhamuh: Aku dan guruku tidak rela jika ada anak cucu santri Al-Qur’an yang ikut-ikutan membaca Al-Qur’an untuk mengejar dunia. Sama juga lantaran menggunakan Musabaqah Tilawatil Qur’an atau Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran atau dengan cara lainnya. Maka dari itu semua anak cucuku santriku laki-laki maupun perempuan yang tidak mematuhi wasiatku ini tidak kuakui sebagai anak cucu santriku dunia akhirat. Dan tidak diakui sebagai keluarga Mbah Kiai Muhammad Munawwir almarhum. Sebab GURU itu: (GU) harus digugu (dipatuhi) petuahnya. (RU) harus ditiru tindakannya. Cukup sekian wasiatku. Agar betul-betul dipatuhi. Wassalam.
Saya tidak punya sanad kepada beliau. Tapi saya merasa wasiat beliau adalah untuk saya juga, dan untuk para penghafal Al-Quran di seluruh dunia. Bahkan ketika saya mulai menulis artikel ini saya bingung harus menyebut beliau dengan sebuatan apa. Saya khawatir menulis nama beliau dengan sebutan yang tidak sesuai dengan keluhuran ilmu dan ibadah beliau. Lalu saya pilih sebutan Mbah Kiyai Arwani allaahu yarhamuh. Mengambil contoh dari sebuatan yang beliau pergunakan untuk menyebut guru beliau, Mbah Kiyai Munawwir allaahu yarhamuh dalam teks wasiat beliau. Lalu saya pun bingung harus menyebut diri saya dengan apa. Sedang Mbah Kiyai Arwani menyebut diri beliau sendiri di atas nama jelas tandatangan wasiatnya dengan Turabul Aqdam. Artinya “debu kaki.” Menunjukan betapa tawadhu-nya beliau. Lalu saya pilih kata “saya,” yang terambil dari bahasa Sansakerta, “sahaya.” Artinya hamba sahaya, budak, dan pelayan. Kalau beliau adalah Turabul Aqdam (Debu Kaki) maka saya adalah budak debut kaki itu.
Mbah Kiyai Arwani memulai wasiatnya dengan mengutip firman Allah Swt:
وَلاَ تَشْتَرُوا بِاٰيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاَ
… dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah
Dari kutipan ayat ini terlihat dengan jelas inti wasiat beliau yang akan ditulis. Yaitu melarang menjadikan ayat-ayat Al-Quran untuk mencari duniawi. Karena penghafal Al-Quran akan menjadi hilang wibawa dan harganya. Yakni tak mulia lagi. Al-Quran sangat mahal. Bahkan dunia dan seisinya tak sebanding dengan satu huruf pun dari Al-Quran. Penghafal Al-Quran yang mengejar dunia dengan Al-Quran menunjukan dirinya tak ada harganya lagi. Al-Quran akan melaknatnya, bukan malah memberikan syafaat padanya. Jelas ini sangat berbahaya. Mbah Kiyai Arwani allaahu yarhamuh tidak mau santri-santrinya menjadi tak mulia karena salah memperlakukan Al-Quran.
Lalu Mbah Kiyai Arwani menyebutkan sasaran dari wasiatnya. Yaitu seluruh santri-santrinya yang sudah dianggap anak-anaknya sendiri. Yang dimaksud seluruh santri adalah mencakup yang masih di pondok maupun yang sudah pulang. Juga termasuk laki-laki dan perempuan. Dari sini saya melihat adanya sebab yang mendorong beliau menulis wasiat ini. Yaitu adanya para penghafal Al-Quran yang tak lagi berakhlak Al-Quran karena diketahui telah menjadikannya alat mencari dunia. Wallaahu a’lam apakah penghafal Al-Quran itu murid beliau atau bukan. Yang jelas, beliau sangat khawatir murid-muridnya jatuh ke situ. Tampaknya pula wasiat ini ditulis agak belakangan. Yakni setelah banyak santri-santri beliau yang pulang kampung.
Sebelum masuk ke konten wasiat, Mbah Arwani membuat sanad wasiat yang bersambung kepada Mbah Kiyai Munawwir al-marhum. Beliau menulis bahwa wasiatnya tersebut adalah juga wasiat gurunya kepada beliau. Dan menuliskan kembali wasiat kepada santri-santri adalah bagian terpenting dari mematuhi wasiat sang guru tersebut. Oleh karenanya, ketika memulai menulis konten wasiat, beliau menggandeng guru beliau. Beliau mengatakan: “Aku lan guruku ora ngelilani…” Artinya “aku dan guruku tidak merelakan…”
Mbah Kiyai Arwani berwasiat:
“Aku lan guruku ora ngelilane yen ono anak putu santri Al-Quran kang melu-melu daftar moco Al-Qur’an kanggo luru dunyo.” Artinya, “aku dan guruku tidak rela jika ada anak cucu santri Al-Qur’an yang ikut-ikutan daftar membaca Al-Qur’an untuk mengejar dunia.”
Kata “tidak rela” adalah soal perasaan. Bukan sekadar larangan. Yakni hati beliau akan terluka, juga hati guru beliau, apabila ada santrinya yang mengejar dunia dengan Al-Quran. Rasa ini sama dengan yang dirasakan Rasulullah Saw ketika melihat kaumnya tidak beriman kepada Al-Quran misalnya seperti yang dilukiskan dalam surah Al-Kahfi ayat 6. Yakni hal ini bukan karena beliau tidak ikhlas mengajar santri-santrinya. Tetapi karena begitu sayang kepada santri-santrinya. Beliau ingin semua santrinya bahagia.
Dalam kalimat beliau ada kata “ikut-ikutan” dan kata “daftar.” Yakni, pada saat beliau menulis wasiat, ada semacam festival atau kontes membaca Al-Quran yang diikuti oleh para santri Al-Quran dan banyak yang mendaftar. Dan beliau melihat motivasinya tak lain kecuali dunia. Inilah yang tidak diridhoi Mbah Kiyai Arwani dan Mbah Kiyai Munawwir, yaitu “luru dunyo.” Yakni, bahkan, dengan melepaskan kata “ikut-ikutan” dan kata “daftar” pun, yakni, dengan kata lain, bukan dalam rangka ikut festival, membaca Al-Quran dengan tujuan duniawi tetap tidak diridhai. Lalu, keadaannya bisa dibalik. Yakni, meski mendaftar, dan meski ikut-ikutan, kalau tidak bertujuan duniawi maka bukanlah sesuatu yang tidak diridhoi. Hanya saja, kenyataan yang terjadi, tidak mudah mengeluarkan tujuan duniawi dari bacaan Al-Quran dalam keadaan berfestival.
Festival Al-Quran yang lazim diikuti dengan tujuan “luru dunyo” pada masa itu adalah Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Qur’an. Tapi yang tidak diridhoi Mbak Kiyai Arwani bukan hanya ikutan dua kontes itu melainkan dengan cara-cara yang lain. Beliau mengawali kalimat wasiat tentang festival dan kontes membaca Al-Quran untuk tujuan dunia ini dengan kata “podo ugo,” yang artinya sama saja. Dua kata ini menunjukan dua pengertian:
1. Beliau tidak merelakan para santri beliau mengikuti festival atau kontes membaca Al-Quran untuk tujuan mengejar harta dunia. Meskipun festival atau kontes tersebut berupa Musabaqah Tilawatil Qur’an dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran yang banyak diikuti orang.
2. Yang tidak direlakan oleh beliau dari para santrinya bukan hanya mengejar dunia dengan membaca Al-Quran dalam Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran saja, tapi mengejar dunia dengan Al-Quran dalam segala hal, baik dalam festival dan kontes, maupun dalam selainnya.
Dengan demikian, menjadi guru Al-Qur’an, simaan Al-Quran, menjadi imam masjid, dan selainnya adalah termasuk yang tidak direlakan beliau selama tujuannya mengejar dunia. Hal ini pun terlihat dari bagian terakhir wasiat tentang guru yang harus digugu dan ditiru. Yakni Al-Quran dijadikan mata pencahaarian. Itu yang tidak direlakan. Adapun disebutkannya Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran secara khusus adalah karena secara kasat mata memang keduanya paling berpotensi melahirkan dorongan dunia.
Jika difahami secara tekstual, maka mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran adalah tidak direlakan meski tidak ada niat luru dunyo. Pemahaman tekstual ini adalah yang selama ini dari masa ke masa dipegang murid-murid beliau juga para penerus beliau hingga kini. Mengingat betapa sulitnya menghindar dari tujuan dunia dalam kedua even tersebut. Sehingga, dengan memutuskan tidak mengikutinya sama sekali, menjadi lebih aman dari cengkraman luru dunyo. Tapi, murid-murid dari Mbah Kiyai Munawwir selain jalur Mbah Kiyai Arwani, kendati diberikan wasiat yang sama, yakni tidak rela murid luru dunyo dengan Al-Quran, terbuka untuk mengikuti even Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran.
Pencantuman Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran secara khusus sebagai perbuatan yang tidak direstui dalam teks wasiat menunjukan beberapa hal:
1. Sanad wasiat Mbah Kiyai Arwani ke Mbah Kiyai Munawwir dilakukan secara makna. Yakni, wasiat Mbah Kiyai Munawwir hanya sebatas pada ketidakrelaan santri luru dunyo dengan Al-Quran. Tidak sampai kepada menyebutkan ikut perlombaan Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran secara terperinci. Karena Mbah Kiyai Munawwir wafat tahun 1942 sedang kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an pertama kali diselenggarakan oleh Pemerintah tahun 1968. Sebelumnya saya dapat informasi bahwa Musabaqah Tilawatil Qur’an pertama kali diadakan oleh Jam’iyyatul Qurra Wal Huffazh di bawah Nahdhatul Ulama pada tahun 1940. Yakni dua tahun sebelum Mbah Kiyai Munawwir wafat. Tapi, setelah diteliti, ternyata Jam’iyyatul Qurra Wal Huffazh baru didirikan pada tahun 1951 dan Musabaqah Tilawatil Quran baru diadakan setelahnya. Dengan demikian sanad yang bersambung ke Mbah Kiyai Munawwir hanya wasiat tentang luru dunyo dengan Al-Qur’an saja. Belum sampai menyebutkan Musabaqah Tilawatil Qur’an secara terperinci.
2. Bisa jadi perlombaan-perlombaan Al-Quran yang menjadi cikal baka Musabaqah Tilawatil Quran sudah ada pada zaman Mbah Kiyai Munawwir. Atau bisa jadi, kalau sanad wasiat Mbah Kiyai Arwani ini bersambung semuanya ke Mbah Kiyai Munawwir, wasiat ini terjadi secara kasyaf. Sanad Kasyaf ini diterima dalam Ilmu Thariqah. Karena baik Mbah Kiyai Munawwir maupun Mbah Kiyai Arwani kedua-duanya dikenal sebagai waliyullah yang dianugerahi karamah-karamah.
3. Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran yang disebut oleh Mbah Kiyai Arwani dalam wasiatnya mungkin adalah yang dimaksud Masabaqah Hidzhil Qur’an sebagai salah satu cabang dari Musabaqah Tilawatil Qur’an. Pertama kali dilaksanakan di akhir tahun tujuh puluhan. Karena sebelumnya, Musabaqah Tilawatil Quran hanya memperlombakan Tilawah, yakni membaca Al-Quran dengan irama atau disebut Mujawwad. Tidak memperlombakan hafalan Al-Quran. Tampaknya semakin membuktikan wasiat ini ditulis di awal tahun delapan puluhan kalau tidak bertepatan dengan tanggal 11 Jumadal Ula tahun 1401 H. sebagaimana foto manuskrip yang saya lihat.
Wasiat Mbah Kiyai Arwani ini tidak berhenti di situ. Saat membaca bagian ini saya sampai menitikan air mata. Terbayang rasa sayang beliau kepada para santrinya. Kok ada guru yang pengorbanannya sebegitu hebatnya. Bagaimana tidak. Beliau pasang badan demi melindungi murid-muridnya. Bahkan beliau pasangkan badan gurunya, Mbah Kiyai Munawwir. Beliau menulis:
“Mulo songko iku kabeh anak putuku santriku kakung putri kang ora ngestuake wasiatku iki ora takdaku anak putu santriku dunyo akherat. Lan ora didaku putro wayahe Embah Kiyai Muhammad Munawwir almarhum.”
Artinya: “Maka dari itu semua anak cucuku santriku laki-laki maupun perempuan yang tidak mematuhi wasiatku ini tidak kuakui sebagai anak cucu santriku dunia akhirat. Dan tidak diakui sebagai keluarga Mbah Kiyai Muhammad Munawwir almarhum.”
Banyak yang menganggap wasiat bagian ini sangat kejam. Tapi saya melihat tidaklah demikian. Karena memang benar, santri yang tidak mematuhi wasiat ini, yakni santri tersebut malah menjadikan Al-Quran untuk luru dunyo, tidak akan dianggap murid beliau dengan sendirinya. Yakni meski tanpa wasiat ini. Tapi, justru, wasiat ini menunjukan beliau benar-benar guru sejati yang sangat penyayang kepada santri-santrinya seumur hidup mereka. Yakni, dengan kata lain, beliau hanya akan merasa berhasil menjadi guru apabila para santrinya terbukti menjaga Al-Quran dari lulu dunyo seumur hidup mereka. Beliau sampai relakan putus hubungan dengan para santri yang luru dunyo dengan Al-Quran di dunia dan akhirat.
Ini tentu sangat berat. Tidak mudah bagi seorang nabi kehilangan seorang pun dari umatnya. Seorang nabi yang paling bersedih di akhirat nanti adalah nabi yang paling sedikit umatnya yang beriman. Hal ini justru menjadi pertaruhan Mbah Kiyai Arwani. Karena saking sayangnya kepada santri. Dengan kata lain, seorang santri tidak perlu berbuat yang lain untuk menyenangkan hati beliau, tapi cukup dengan menjaga Al-Quran dari luru dunyo sepanjang hayatnya. Juga sebaliknya, tidak perlu melakukan yang lain untuk melukai hati beliau atau membuat beliau menangis, tapi cukup dengan luru dunyo dengan Al-Quran.
Alangkah bahagia santri yang mempunyai guru seperti Mbah Kiyai Arwani dan para pemegang wasiatnya. Sangat beruntung. Keberkahan ilmu dan keberkahan guru melindungi hidupnya. Teruslah berdoa dan murojaah untuk beliau. Tapi, saya berharap, jangan gagal fokus ke Musabaqah Tilawatil Quran dan Musabaqah Ajwad Huffazh Al-Quran. Tapi fokuslah ke “luru dunyo.” Ikut musabaqah adalah hal kecil. Yakni, hal yang kecil saja beliau peringatkan, apalagi yang besar. Tidak menjaga Al-Quran, tidak murojaah, tidak ngederes, dan tidak tak takrir karena sibuk dengan selain Al-Quran sampai banyak ayat yang tidak lancar atau lupa, tentunya hal itu lebih melukai hati beliau.
Yang dimaksud tidak diakui anak santri di dunia dan akhir tentu saja bukan sebenarnya. Melainkan kalimat majaz. Yakni Mbah Kiyai Arwani, saking sayangnya kepada santri dan khawatir mereka celaka, sampai mengatakan hal demikian. Dengan kata lain, Mbah Kiyai Arwani melakukan shock therapy kepada santri-santrinya. Bukan berarti benar-benar kemudian tidak akan dianggap murid dunia dan akhirat. Karena untuk tidak melanggar wasiat sama sekali sangatlah sulit. Soalnya luru dunyo dengan Al-Quran ini masalah niat. Bisa saja kita tidak ikut musabaqah. Tapi dalam hal lain apakah kita bisa. Untuk memastikan hati benar-benar kosong dari tujuan luru dunyo dengan Al-Qur’an tidaklah mudah. Karena hati selalu berubah-berubah. Bisa jadi malah yang ikut musabaqah lebih ikhlas. Rasulullah Saw pun, di akhirat kelak, akan turun tangan untuk memberikan syafaat kepada para pendosa sebagai wujud rasa sayang beliau kepada umatnya. Demikian pula Mbah Kiyai Arwani, rasa sayang kepada santri-santrinya begitu kuat. Tidak mungkin memutus hubungan dengan santri-santrinya. Justru, dengan wasiatnya ini, beliau tengah menjalin hubungan yang kuat dengan para santrinya di dunia dan akhirat. Karena saya memahami bahwa Mbah Kiyai Arwani ini seorang waliyullah. Kalimat wasiat ini salah satu buktinya. Shock therapy di dalamnya terasa begitu berat. Tidak mungkin bisa diucapkani oleh orang seperti saya. Karena saya belum tahu apakah saya lebih ikhlas dibanding santri-santri saya. Saya belum tahu keadaan saya di akhirat kelak apalah termasuk yang bahagia atau yang celaka. Bahkan saya masih membutuhkan syafaat santri.
Di penutup wasiatnya, beliau memberikan alasan mengapa penting menjaga wasiat ini. Yaitu karena para penghafal Al-Quran adalah guru. Falsafah guru menurut beliau adalah digugu (dipatuhi) petuahnya dan ditiru tindakannya. Jika guru sudah menjual Quran-nya dengan dunia maka bagaimana dengan yang lain. Dia tak lagi jadi guru. Beliau pun menulis wasiat ini karena beliau adalah guru. Beliau bertanggungjawab di hadapan Allah terhadap murid-muridnya. Bahkan di bagian terakhir dari penutup beliau menegaskan kembali agar wasiat ini dipatuhi dengan sungguh-sungguh. Yakni, harus benar-benar sungguh-sungguh. Tampaknya bagian penutup ini mengisyaratkan betapa semakin ke sini zaman semakin penuh dengan tantangan dan godaan bagi para penghafal Al-Quran. Sehingga wasiat ini benar-benar penting ditulis dan untuk dipatuhi.
Wallaahu ‘alam
al-faqir Deden Muhammad Makhyaruddin