INDONESIA MEMANGGIL GENERASI PENDENGAR AL-QURAN

 

INDONESIA MEMANGGIL GENERASI PENDENGAR AL-QURAN
(Kemilau Parade Tasmi 30 Juz)
 
Rasulullah Saw adalah pendengar Al-Quran. Beliau mendengarkannya dari malaikat Jibril mulai wahyu pertama sampai wahyu terakhir. Beliau pun murojaah kepada malaikat Jibril berkali-kali khatam sebagai pembaca dan sebagai pendengar. Beliau juga yang bersabda kepada Ibnu Mas’ud: “Sungguh aku menyukai mendengarnya dari selain aku.” (HR Bukhori, Muslim)
 
Para sahabat Rasulullah Saw adalah para pendengar Al-Quran. Mereka mendengar seluruh Al-Quran langsung dari Rasulullah Saw dan atau dari sesama para sahabat. Hafalan mereka dihasilkan dari mendengarkan. Tilawah mereka pada ayat yang belum hafal pun berupa mendengarkan. Karena belum ada mushaf untuk mereka gunakan bertilawah.
 
Shalat tarawih para sahabat dilaksanakan secara berjamaah dengan satu imam dan dengan bacaan yang sangat panjang pada zaman Umar bin Khaththab tak lain karena mereka menginginkan berkali-kali mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan sebagai pendengar. Bukan sebagai pembaca. Terlebih bagi yang belum hafal seluruh Al-Quran.
 
Ada sentuhan dan hidayah Al-Quran yang tak dapat diraih dan dirasakan kecuali dengan mendengar. Bukan dengan membaca. Karenanya, tak jarang porsi mendengar bagi para sahabat menjadi lebih banyak dari membaca. Inilah mengapa murojaah Rasulullah Saw dengan malaikat Jibril dilakukan dengan membaca dan mendengar. Masing-masing satu kali khatam. Juga inilah alasan mengapa beliau ingin mendengar bacaan Al-Quran dari sahabat beliau, Ibnu Mas’ud. 
 
Rahmat Allah dari Al-Quran dalam surah Al-A’raf ayat 204 diberikan kepada yang mendengarkan Al-Quran dengan tekun dan yang memperhatikan bacaannya dengan teliti. Bukan kepada yang membaca. Ini tentu bukanlah berarti pembaca tidak mendapatkan rahmat. Melainkan, sebagaimana dalam hadis riwayat Imam al-Thabarani, “pembaca dan pendengar Al-Quran bersekutu dalam pahalanya.” Kalau yang membacanya hafizh Al-Quran maka pendengar akan punya pahala bacaan yang sama dengan hafizh Al-Quran. 
 
Dan tentu pendengar bisa lebih khusyuk dan akan lebih aman dari rasa hati lebih baik, pamer, sombong, dan lain-lain. Berbeda dengan pembaca. Pintu-pintu merasa lebih baik dan lainnya terbuka. Karenanya ditekankan membaca ta’awwudz terlebih dahulu. Pahala pendengar akan lebih banyak lagi kalau mendengarkannya sambil memegang Al-Quran di mana mata melihat huruf-hurufnya dan lisan mengikuti bacaannya dengan suara pelan.
 
Seiring dengan mulai bangkitnya gerakan tilawah dan tahfizh Al-Quran, khususnya di Indonesia yang, alhamdulillah, sangat pesat, gerakan mendengar Al-Quran belum begitu terasa. Jika ditanya, siapa di antara kita yang pernah walau sekali saja mendengarkan Al-Quran sampai khatam 30 juz? Mungkin dari sekian banyak jamaah pengajian hanya beberapa orang saja yang pernah.
 
Biasanya setiap orang dapat dengan mudahnya mendengar bacaan Al-Quran dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya, dan Shubuh), shalat taraweh, murattal dari speaker masjid, atau menyetel rekaman Al-Quran. Ini sangatlah baik. Hanya saja masih sangat jarang yang menjalaninya secara berurutan dan berlanjut sampai khatam 30 juz. Dalam shalat taraweh di masjid yang menyelenggarakan membaca 1 juz untuk 1 malam pun biasanya ada saja yang tertinggal. Bolong. Sehingga tidak utuh. Apalagi hanya mendengarkan dari alat pemutar rekaman. Kadang yang didengarkan itu-itu lagi. Juga, bagi yang tidak hafal Al-Quran, mendengarnya hanya selewatan saja. Yakni mendengarnya tidak sambil memegang mushaf Al-Quran untuk betul-betul menyimak. Silahkan lakukan hal itu dengan istiqamah dan bisa sesekali diatur bagaimana agar bisa tamat 30 juz.
 
Di Indonesia, sebenarnya, ada tradisi mendengarkan Al-Quran yang dilakukan secara masal. Disebut “Sema’an,” atau “Sima’an.” Ada juga yang menyebutnya “Tasmi’ Al-Quran.” Yaitu pembacaan Al-Quran oleh para hafizh dengan disimak oleh para jamaah yang hadir dimulai dari Shubuh sampai khatam 30 juz seharian. Di antara Kelompok Semaan yang jamaahnya banyak adalah “Mantab” berasal dari bahasa Arab; man (مَنْ), artinya orang, dan  taba (تَابَ), artinya bertaubat. Yakni jamaah orang bertaubat. Pada mulanya bernama Jantiko (Jamaah Anti Koler). Atau jamaah anti putus asa meskipun dari segi ekonomi dan pengetahuan sangat kurang. Didirikan oleh Gus Miek pada tahun 1986 bersama beberapa hafizh dan 20 penyimak serta hanya berkutat di Kediri saja. Kemudian menjadi pesat dan pendengarnya bisa mencapai 17.000 orang serta merambah ke seluruh Jawa Timur, DIY, dan lainnya. Istilah “koler” yang sangat lokal pun menjadi kurang relevan lagi. Lalu jadilah “mantab.” Tapi ada juga yang menggabungkan kedua nama itu menjadi “Jantiko Mantab.”
 
Sedemikian banyaknya jamaah Mantab di Jawa Timur, DIY dan Jawa Tengah, tapi belum mampu merambah ke luar Jawab. Bahkan ketika diadakan di Ibu Kota atau Jawa Barat saja maka jamaahnya belum banyak. Tampaknya ini karena belum begitu mengetahui keutamaannya dan belum merasakan manfaatnya. Oleh karenanya, penting para ustadz mengkampanyekannya. Terlebih para ustadz yang jamaahnya banyak. Bahwa semua orang bisa menjadi pendengar Al-Quran. Bahkan orang yang belum bisa baca sekalipun. Sebut saja misalnya, KH Yusuf Mansur, KH Aa Gym, KH M. Arifin Ilham, KH Bachtiar Nasir, Ust. Adi Hidayat, Uts. Abdul Somad, dan lain-lain. Demikian pula media sosial memviralkan. Bisa saja kegiatannya dimulai dengan Semaan Al-Quran 1 juz setiap sebelum atau setelah pengajian. Apalagi pengajian yang tempatnya di masjid-masjid besar dengan jamaah yang juga besar. Ditambah lagi ustadz-nya langsung menjadi pendengar atau pembaca.
 
Indonesia Murojaah punya 25 hafizh-hafizhah 30 juz yang tamat murojaah 30 juz dalam shalat tahajjud pada program Tahajjud Murojaah angkatan kedua tahun ini (2018). Mereka siap diuji dengan disimak satu gelondong Al-Quran sekaligus selama ada pendengarnya yang siap menjadi saksi lahirnya hafizh-hafizhah yang mutqin. Tahajjud Murojaah pun membuat acara dengan tajuk “Kemilau Parade Tasmi 30 Juz” pada 31 Maret sampai 1 April 2018 guna memanggil generasi pendengar Al-Quran Indonesia. Karena sudah saatnya Indonesia mendengar. Ia membutuhkan para pendengar. Bahkan lebih banyak dari pembicara. Tidak ada nama Allah; al-Mutakallim (Maha Berfirman). Tapi ada nama al-Sami’ (Maha Mendengar). Artinya mendengar lebih penting. Demikian pula manusia punya dua telinga dan satu lidah. Pertanda aktifitas telinga, yaitu mendengar, harus lebih banyak dari aktivitas lidah, yaitu berbicara.
 
Saya berharap seraya berdoa dengan segala kerendahan hati semoga Kemilau Parade Tasmi’ 30 Juz menjadi media pemanggil kembalinya generasi pendengar Al-Quran Indonesia. Kedepannya, setiap satu tahun sekali ada Parade Tasmi’ 30 Juz di Masjid Istiqlal dengan puluhan ribu, bahkan ratusan ribu pendengar yang hadir. Seharian sampai khatam. Agar banyak dari penduduk negeri ini yang bisa khatam 30 juz sebagai pendengar minimal dalam setahun sekali, serta mendengar bacaannya langsung dari hafizh-hafizh pilihan yang mutqin. Kemudian di masjid-masjid dan majlis-majlis ta’lim muncul para pendengar Al-Quran yang militan pula untuk keselamatan bangsa.
 
Demak 24 Maret 2018
Deden Muhammad Makhyaruddin
(Visited 132 times, 1 visits today)
Bagikan