MENGHAFAL AL-QURAN UNTUK KESEHATAN OTAK

MENGHAFAL AL-QURAN UNTUK KESEHATAN OTAK
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin

Al-Quran yang ada dalam hati menjadikan suatu zaman, zaman ini, zaman kita, atau zaman kapan pun, tak berjarak dari zaman Rasulullah Saw. Seorang mufassir dari kalangan tabiin dari Madinah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi (w. 108 H.) mengatakan: “Barangsiapa yang membaca Al-Quran maka seakan-akan telah melihat Nabi Saw.” Al-Quran yang dalam hati juga sebabkan hati tak berjarak dengan Allah Swt. Ia selalu ingar Allah (dzikir). Hati yang selalu berdzikir inilah hati yang sehat. Dia buta dari kebaikan dirinya. Dan buta dari keburukan orang selainnya. Orang yang hatinya demikian adalah orang yang seluruh tubuhnya sehat.

Dalam Al-Quran misalnya surah al-Nahl ayat 70, manusia, kendati diberikan usia yang panjang dan sehat sepanjang hayatnya, maka tetap akan kembali kepada pase usia Ardzal al-‘Umur. Atau, secara harfiyyah, artinya umur terhina. Yaitu usia pikun yang menyebabkan tak mengetahui lagi apa yang sebelumnya telah diketahuinya. Dalam surah al-Tin ayat 5 disebut Asfala Safilin. Yakni seriring dengan melemahnya fisik, melemah pula akalnya. Keadaanya menjadi kembali seperti bayi sebagaimana dijelaskan dalam surah Yasin ayat 68. Bukan karena sakit, tapi karena usianya yang sudah lanjut. Namun, orang yang hafal Al-Quran, akalnya tidak akan pikun. Ini menunjukan betapa sehatnya orang yang hafal Al-Quran. Yakni, dengan kata lain, jangankan sakit pada fisiknya, akalnya saja tak termakan usia.

Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H.) dalam kitab al-Mushannaf nomor 29956 meriwayatkan dari gurunya yang bernama Abu Khalid al-Ahmar, dari gurunya yang bernama Abu Usamah, dari gurunya yang bernama al-Hakam bin Hisyam, dari gurunya yang bernama Abdul Malik bin ‘Umair. Dia berkata, bahwa ada yang mengatakan: “Orang yang paling kekal akalnya adalah para penghafal Al-Qur’an.”

Lalu, masih dalam al-Mushannaf nomor 29957, tapi kali ini Ibn Abi Syaibah (w. 235 H.) meriwayatkan dari gurunya yang bernama Abu al-Ahwash, dari gurunya yang bernama Ikrimah, murid sekaligus mantan budak Ibnu Abbas. Dia, yakni Ikrimah, berkata: “Barangsiapa yang membaca Al-Quran maka tidak akan dikembalikan kepada umur terhina (ardzalil umur).”

Menurut sebuah penelitian sebagaimana penulis mendengar langsung penjelasannya dari dr. A. M. Iqbal Basri, dokter spesialis saraf dan dosen FK Unhas Makassar saat bersama-sama menjadi narasumber pada Seminar Kesehatan di Unhas yang bertemakan Al-Quran sebagai Pondasi Kesehatan, “orang yang mendengarkan Al-Quran 15 menit secara rutin setiap hari kecerdasan otaknya akan meningkat.” Berarti otaknya sehat. Tampaknya inilah di antara rahmat yang diberikan Allah bagi yang mendengarkan Al-Qur’an dengan tekun dan memperhatikannya dengan saksama saat Al-Quran dibacakan kepadanya. Dalam surah al-A’raf ayat 204, proses mendengarkan Al-Quran yang meningkatkan kecerdasan otak dan mendatangkan rahmat disebut istima’ dan inshat.

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, ketika membahas hal-hal yang meningkatkan hafalan, disebutkan bahwa membaca Al-Quran dapat meningkatkan hafalan. Bahkan dikatakan: “Tidak ada yang lebih meningkatkan hafalan selain membaca Al-Quran.” Kemudian disebutkan bahwa membaca Al-Quran sambil melihat tulisannya lebih utama karena ada keterangan yang dinisbatkan oleh pengarang kitab Ta’lim sebagai hadits. Yaitu Rasulullah Saw bersabda: “Sebesar-besar amal umatku adalah membaca Al-Quran dengan melihat tulisannya.” Dikisahkan, Syadad bin Hakim bermimpi melihat sebagian temannya lalu bertanya: “Apa yang paling bermanfaat bagimu?” Dia menjawab: “Membaca Al-Quran sambil melihat tulisannya.”

Penulis sering ditanya tentang wirid yang memudahkan menghafal Al-Quran. Jawaban penulis tidak pernah berubah. Hanya satu. Yaitu, wirid yang paling bermanfaat untuk menghafal Al-Quran adalah membaca Al-Quran itu sendiri. Bagaimana tidak sedang membaca Al-Quran dapat meningkatkan kecerdasan otak dan memudahkan hafalan-hafalan ilmu yang lain. Yakni, menghafal ilmu-ilmu yang lain menjadi mudah dan meningkat kekuatannya karena membaca Al-Quran. Sudah barang tentu ilmu yang paling dimudahkan oleh membaca Al-Quran adalah hafalan Al-Quran. Oleh karenanya, misalnya, jika ada orang mengatakan, harus baca wirid ini atau wirid itu sebanyak 10 kali atau 100 kali sebelum menghafal Al-Quran, maka menurut penulis lebih baik membaca ayat yang hendak dihafal sebanyak 10 kali atau 100 kali sebagai wiridnya. Tidak membaca wirid yang lain.

Jika penghafal Al-Quran masih bergantung kepada selain Al-Quran dalam proses menghafal Al-Quran maka akan menyebabkan kegiatan menghafal Al-Quran tidak terasa nikmat melainkan serasa obat yang sangat pahit yang tidak bisa menghindar kecuali harus ditelan. Bahkan bisa jadi terus menerus bertahan dalam rasa itu seperti orang sakit yang ketergantungan kepada obat. Menyetop obat sama dengan mengundang kematian, tapi bertahan dengan obat berarti selamanya menelan pahit. Menghafal Al-Quran yang seperti ini biasanya membuat kepala pusing dan badan panas, sama seperti menghafal teks-teks yang bukan Al-Quran. Adakalanya pula fisik tidak kuat lalu jatuh sakit. Karena over dosis ayat atau efek samping obat ayat.

Silahkan saja menghafal Al-Quran dengan model ini. Asalkan kuat bertahan sampai Allah memberikan kesembuhan pada hafalannya. Tapi, resikonya, tidak akan merasakan nikmatnya menghafal dan perlu waktu yang cukup lama. Untuk merasakan kenikmatannya harus mencari bacaan lain seperti nasehat-nasehat para ulama tentang menghafal Al-Qur’an, buku-buku menghafal Al-Quran, membaca status-status para motivator tahfizh terkemuka di akun-akun media sosial mereka, atau mengikuti pelatihan dan seminar menghafal Al-Quran. Itu pun tak bisa bertahan lama. Bahkan adalakanya kenikmatannya hanya hadir ketika atau beberapa saat setelah mendengarkannya atau membacanya. Lalu, ketika kembali memulai mengafal, maka pahit lagi. Mungkin tulisan saya ini bisa dibaca berulang-ulang untuk dapat mersakan nikmatnya menghafal Al-Quran terus menerus.

Jika penghafal Al-Quran sudah tak bergantung kepada selain Al-Quran dalam proses menghafalnya maka kegiatan menghafal Al-Quran akan terasa sangat nikmat dan menyenangkan. Bahkan lebih nikmat dari hafalnya. Tak perlu motivasi dari nasehat-nasehat, buku-buku, dan status-status motivator di akun media sosial untuk bisa tetap dan bertambah semangat. Karena ayat yang sedang dihafalnya lebih memotivasi dari segala motivasi. Ia lebih menyentuh hati dibanding kata-kata bijak terindah siapapun. Tak perlu lagi lirik lagu dan irama musik. Karena daya tarik hafalannya lebih dari itu. Sekali melihatnya langsung hafal karena penuh kesan pada pandangan pertama. Semakin jauh hafalannya semakin mudah karena hafalan lama selalu menyinari hafalan barunya. Hafalan baru tidak putus hubungan dengan hafalan lama. Bahkan murojaah hafalan lama jadi wirid bagi hafalan baru.

Tidak akan resah, gelisah, dan galau. Justru dapat menolak galau. Tidak akan pusing, panas, atau jatuh sakit. Apalagi dikalahkan rasa malas. Tapi justru menyehatkan dan memeberi semangat. Juga memudahkan menghafalkan ilmu-ilmu yang lain. Badan yang lelah setelah seharian bekerja pun misalnya menjadi segar dan rileks kembali dengan menghafal Al-Quran yang memakai model ini. Mungkin, singkatnya, hanya dua hal yang harus dilakukan agar menghafal Al-Quran terasa nikmat. Yaitu:

1. Faham Keayatan Ayat

Yang dimaksud faham di sini bukan faham terhadap maknanya, terjemahnya, atau tafsirnya. Karena yang tahu dan faham maknanya tak menjamin bisa merasakan nikmatnya menghafal Al-Quran. Kalau faham kepada maknanya menjamin merasakan nikmatnya menghafal Al-Quran maka semua lulusan pesantren atau sarjana-sarjana syariah dan tafsir akan hafal Al-Quran semua. Tapi faktanya tidak. Bahkan sangat sedikit sekali para pengkaji makna Al-Quran yang hafal Al-Quran. Bisa jadi malah dokter atau orang awam yang belum mengerti maknanya hafal.

Yang dimaksud faham adalah benar-benar mengerti bahwa yang sedang dibaca dan dihafalkannya adalah betul-betul firman Allah. Yakin. Sampai mengerti bahwa ayat-ayat yang sedang dihafal adalah satu-satunya alasan kebahagiaan dan keselamatannya di dunia dan akhirat. Inilah yang penulis maksud dengan faham keayatan ayat. Setiap kali membaca ayat, hatinya bergetar. Yang bertambah duluan adalah imannya sebelum hafalannya. Dia sangat mengerti dan merasakan bahwa yang sedang dikumpulkannya dalam hati adalah yang apabila diturunkan kepada gunung maka gunung akan khusyuk dan terbelah karena takut kepada Allah.

2. Menghemat Ayat

Yakni sedikit-sedikit. Pelan-pelan. Tidak tergesa-gesa. Tidak langsung tancap gas. Hilangkan keinginan hafal banyak. Tapi kuatkan keimanan kepada yang sedang dihafal. Walau satu ayat. Atau setengah ayat. Tidak apa-apa. Bahkan, berdasarkan penelitian ilmiah, menghafal selama 30 menit lebih baik hasilnya dari mengafal selama 1 jam. Bukankah hafal satu ayat dengan iman lebih berarti dari pada hafal seluruh ayat tanpa iman. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim disebutkan: “Hafal dua huruf lebih baik dari membaca dua muatan unta, dan faham dua huruf lebih baik dari hafal dua muatan unta.” Tentu mengimani dua huruf lebih baik dari memahami dua muatan unta.

Jika mencari ayat dalam Al-Quran tentang metode menghafal Al-Quran maka hanya akan ditemukan satu metode saja. Yaitu “jangan tergesa-gesa.” Hanya itu. Tidak ada cara yang lain. Karena inilah cara menghafal para nabi dan kemudian para ulama pewaris para nabi. Mungkin kita mengira cara ini akan menyebabkan menghafal Al-Quran jadi lama. Ini salah. Justru menghafal dengan cara ini menjadikan cepat hafal. Sebaliknya, menghafal dengan tidak menghemat ayat, dibanyak-banyakin, dan biburu-buruin akan menyebabkan menghafal semakin lama.

Juga perlu diketahui lebih mendalam bahwa hafalan Al-Quran itu beda dengan hafalan-hafalan yang lain. Jika hafalan-hafalan lain membutuhkan otak maka hafalan Al-Quran dibutuhkan otak. Jika ilmu-ilmu adalah buku-buku yang disimpan di rak-rak perpustakaan maka hafalan Al-Quran bukanlah salah satu buku di rak-rak itu. Melainkan cahaya di perpustakaan itu yang menyebabkan semua buku terbaca. Jika hafalan Al-Quran disusun di rak-rak perpustakaan bersama buku-buku yang lain maka menjadi sama saja dengan yang lain. Ketahui perbedaan itu. Sehingga kegiatan menghafal Al-Quran menjadi sebuah kegiatan meningkatkan kecerdasan otak dan kesehatan seluruh tubuh, lahir dan batin.

Wallahu A’lam
Makassar, 2 Desember 2017
Seminar Kesehatan Fakultas Kedokteran Unhas: Al-Quran sebagai Pondasi Kesehatan.

(Visited 1.400 times, 1 visits today)
Bagikan